Kalau
benar revolusi hijau kedua akan dapat mengatasi persoalan, tentu penerapannya
harus lebih super hati-hati dan bijaksana. Jangan sampai justru semakin
menambah keterpurukan petani masuk ke dalam jurang kemiskinan yang lebih akut.
Pada tahun 2005 saja terdapat 38 juta atau 16% dari penduduk Indonesia yang
miskin dan 68% dari 38 juta orang miskin ada pada sektor pertanian. Maka pada
tahun 2006 ini masih dapat dikatakan secara umum bahwa orang miskin di
Indonesia adalah petani.
A. Bahaya
Revolusi Kedua
Kemiskinan
petani merupakan akibat dari serentetan peristiwa pada zaman Orde Baru dengan
adanya program swasembada pangan melalui penerapan teknologi baru yang disebut
Revolusi Hijau (RH). Swasembada pangan dimaksudkan agar petani mampu
menyediakan keragaman jenis bahan makanan (diversifikasi pangan). Akan tetapi,
dalam praktiknya swasembada pangan menjadi swasembada beras, dan keragaman
menjadi keseragaman. Akibatnya seluruh kegiatan pertanian terkonsentrasi hanya
pada peningkatan hasil padi saja. Peningkatan hasil padi dapat diraih dengan
menanam jenis padi bibit unggul hasil teknologi RH. Salah satu jenisnya adalah
IR (Institute Rice), yang merupakan hasil persilangan antara padi berumur
pendek dan berperanakan banyak, sehingga jenis IR bisa menghasilkan padi
berlipat ganda hanya dalam jangka waktu 3 bulan.
Kearifan
alam dengan sistem palawija (Jawa: selang-seling) telah diganti sama sekali
dengan menanam padi secara terus-menerus demi swasembada pangan (beras).
Penanaman padi yang terus-menerus ini mengakibatkan timbulnya jenis hama padi
yang tidak terputus rantai hidupnya. Kemudian terjadilah serangkaian peristiwa
sedih yang menimpa petani seperti hama wereng coklat. Hama ini hanya bisa
dimusnahkan dengan pestisida.
Dengan
demikian untuk menanam padi jenis unggul petani akan mengeluarkan biaya
berlipat ganda yaitu pembelian bibit, pupuk, dan pestisida, sekaligus
membahayakan kesehatan. Petani harus membeli bibit karena padi jenis unggul
tidak bisa ditangkarkan sendiri sebagaimana jenis lokal. Padahal ketika petani
masih menerapkan sistem palawija, mereka bisa mengusahakan semuanya secara
mandiri. Secara tidak sadar penerapan teknologi RH telah merusak kebanggaan
petani pada tanah airnya sendiri serta menjadikan kehidupan petani tergantung
pada pabrik dan pemilik modal. Semua kekayaan alam dirampas, sementara hasil
panennya tidak diimbangi dengan penghargaan nilai jual yang layak. Akibatnya
sangat ironis, petani menjual gabah untuk membeli beras. Inilah salah satu
jawaban mengapa petani kita miskin dan sekaligus membuktikan penerapan RH Kedua
di Indonesia pantas diragukan.
B. Kembali ke Pertanian Organik
Kalau
benar RH Kedua akan diterapkan di Indonesia, penerapannya harus berbeda dengan
pengalaman RH Pertama. Penerapan RH Kedua perlu mempertimbangkan tuntutan
penurunan penggunaan bahan-bahan kimia, tuntutan peningkatan kesehatan SDM,
tuntutan kelestarian lingkungan hidup, serta berkembangnya pemikiran konservasi
pangan, dan bukan semata-mata peningkatan hasil padi.
Mengingat
bahwa kerusakan keseimbangan alam begitu memprihatinkan, maka penerapan RH
Kedua harus dipadukan dengan sistem pertanian organik. Pertanian organik adalah
sistem pertanian tradisional tanpa pupuk kimia warisan nenek moyang kita yang
sangat memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Dengan sistem ini sekaligus
dapat menciptakan swasembada pangan (keanekaragaman, bukan keseragaman pangan),
pemeliharaan unsur hara tanah, rantai makanan, serta tersedianya makanan sehat.
Sistem pertanian ini akan sangat menguntungkan petani dalam berbagai hal,
antara lain: 1). Petani mampu menyediakan berbagai jenis pangan, bukan hanya
padi. 2).
Terpeliharanya unsur hara tanah. 3). Petani mampu memproduksi sendiri jenis
obat pemberantas serangga. 4). Petani mampu menyediakan makanan sehat, bebas
kimia.
Konsep sistem pertanian organik sudah
sering dibahas pada berbagai pertemuan ilmiah, misalnya seminar, lokakarya, dan
sarasehan, yang menggunakan tajuk pertanian organik (organic farming) atau
pertanian ramah lingkungan. Secara teoritas banyak pakarbanyak pakartanian
ataupun ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah
satu alternatif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial. (Salikin,
2003)
Selain sistem pertanian organik
dikenal pula sistem pertanian terpadu. Terdapat dua model sistem pertanian
terpadu (integrated agriculture management), yaitu semua pertanian terpadu
konversional dna sistem pertanian terpadu dengan teknologi EM (effective micro
organisme). Sistem pertanian terpadu konvensional misalnya tumpang sari antara
peternakan ayam dan balong ikan (longyam) dimana kotoran ayam yang terbuang
dimanfaatkan sebagai pakan ikan, atau tumpang sari antara tanaman palawijaya
dan peternakan, dimana sisa-sisa tanaman digunakan sebagai pakan ternak kambing
atau sapi dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang bagi pertanaman
berikutnya. Praktek-praktek pertanian terpadu konvesional ini belum tentu
merupakan siklus yang berkelanjutan, karena hanya mengandalkan proses
dekomposisi biomassa alamiah yang berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu,
diperlukan sentuhan teknologi yang mampu mempercepat proses pembusukan dan
penguraian bahan-bahan organik menjadi unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
atau hewan. Konsep pertanian lainnya
yang memperhatikan sistem pengelolaan lingkungan berkelanjutan ialah sistem
pertanian masukan luar rendah. Dalam hal
ini pemanfaatan input luar dilakukan hanya bila diperlukan untuk melengkapi
unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan meningkatkan sumberdaya
biologi, fisik dan manusia. Dalam pemanfaatan input luar, perhatian utama
diberikan pada mekanisme daur ulang dan minimilisasi kerusakan lingkungan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar