Tiga unsur ini,
ditegaskan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg sebagai tiga
pilar pembangunan berkelanjutan, memberi bentuk dan isi pada pembelajaran yang
berkelanjutan:
1. Masyarakat:
pemahaman akan lembaga-lembaga sosial dan peran mereka dalam perubahan dan
pembangunan, begitu juga dengan sistem yang demokratis dan partisipatoris yang
memberi kesempatan pada kebebasan berpendapat, pemilihan pemerintahan,
pembuatan konsensus dan resolusi perbedaan.
2. Lingkungan: kesadaran akan kekayaan dan kerapuhan dari lingkungan fisik dan kerusakan yang terjadi padanya dari aktivitas dan keputusan umat manusia, dengan komitmen untuk memasukkan unsur kepedulian lingkungan dalam pengembangan kebijakan sosial dan ekonomi.
3. Ekonomi: suatu kepekaan atas batas-batas dan kekuatan dari pertumbuhan ekonomi dan pengaruhnya yang kuat pada masyarakat dan lingkungan, dengan komitmen untuk membebani tingkat konsumsi perseorangan dan masyarakat dengan perhatian untuk lingkungan dan untuk keadilan sosial.
2. Lingkungan: kesadaran akan kekayaan dan kerapuhan dari lingkungan fisik dan kerusakan yang terjadi padanya dari aktivitas dan keputusan umat manusia, dengan komitmen untuk memasukkan unsur kepedulian lingkungan dalam pengembangan kebijakan sosial dan ekonomi.
3. Ekonomi: suatu kepekaan atas batas-batas dan kekuatan dari pertumbuhan ekonomi dan pengaruhnya yang kuat pada masyarakat dan lingkungan, dengan komitmen untuk membebani tingkat konsumsi perseorangan dan masyarakat dengan perhatian untuk lingkungan dan untuk keadilan sosial.
Tiga unsur ini
memikul sebuah proses perubahan yang terus-menerus dan berjangka panjang -
pembangunan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang dinamis, dengan pengakuan
bahwa umat manusia berada dalam suatu gerakan yang konstan. Pembangunan
berkelanjutan bukanlah tentang mempertahankan status quo, tetapi lebih tentang
arah dan maksud perubahan. Penekanan pada hubungan antara kemiskinan dengan
persoalan pembangunan berkelanjutan merujuk pada perhatian komunitas
internasional bahwa mengakhiri kemelaratan dan ketidakberdayaan menjadi
perhatian kita untuk masa depan dunia seperti halnya melindungi lingkungan.
Menyeimbangkan keduanya adalah tantangan pokok pembangunan berkelanjutan.
Dasar dan fondasi
untuk keterkaitan tiga area ini dengan pembangunan berkelanjutan terdapat dalam
dimensi Budaya. Kebudayaan – cara hidup, berhubungan, berperilaku, berkeyakinan
dan bertindak yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, sejarah dan tradisi,
yang didalamnya umat manusia menjalani kehidupan mereka. Ini adalah pengakuan
bahwa praktek-praktek kebiasaan, identitas dan nilai-nilai – perangkat lunak
pengembangan manusia – memainkan peran besar dalam menyusun dan membangun
komitmen bersama. Dalam kaitan proses dan tujuan pendidikan untuk pembangunan
berkelanjutan (ESD), penekanan pada aspek kebudayaan akan menggaris bawahi
pentingnya:
1. Menghargai
keragaman: ‘permadani berharga’ pengalaman umat manusia dalam banyak konteks
fisik dan sosiokultural dunia;
2. Tumbuh dalam penghargaan dan toleransi atas perbedaan: dimana kontak dengan keberbedaan adalah memperkaya, menantang dan menggairahkan;
3. Menghargai nilai-nilai dalam suatu debat terbuka dan dengan suatu komitmen untuk mempertahankan dialog agar tetap berlangsung;
4. Meneladani nilai-nilai penghargaan dan martabat yang mendasari pembangunan berkelanjutan, dalam kehidupan personal dan kelembagaan;
5. Membangun kapasitas manusia dalam semua aspek pembangunan berkelanjutan;
6. Menggunakan pengetahuan indigenous lokal tentang flora dan fauna dan praktek-praktek budidaya pertanian yang berkelanjutan, penggunaan air, dan sebagainya;
7. Mempercepat dukungan pada kebiasaan dan tradisi yang membangun keberlanjutan– termasuk aspek-aspek seperti pencegahan perpindahan besar-besaran orang desa;
8. Menghargai dan bekerja dengan pandangan yang khusus secara budaya atas alam, masyarakat, dan dunia, alih-alih mengabaikan mereka atau menghancurkan mereka, secara sengaja ataupun karena kekurang hati-hatian, atas nama pembangunan;
9. Menggunakan pola-pola komunikasi lokal, termasuk penggunaan dan pengembangan bahasa-bahasa lokal, sebagai penghubung interaksi dan identitas budaya.
2. Tumbuh dalam penghargaan dan toleransi atas perbedaan: dimana kontak dengan keberbedaan adalah memperkaya, menantang dan menggairahkan;
3. Menghargai nilai-nilai dalam suatu debat terbuka dan dengan suatu komitmen untuk mempertahankan dialog agar tetap berlangsung;
4. Meneladani nilai-nilai penghargaan dan martabat yang mendasari pembangunan berkelanjutan, dalam kehidupan personal dan kelembagaan;
5. Membangun kapasitas manusia dalam semua aspek pembangunan berkelanjutan;
6. Menggunakan pengetahuan indigenous lokal tentang flora dan fauna dan praktek-praktek budidaya pertanian yang berkelanjutan, penggunaan air, dan sebagainya;
7. Mempercepat dukungan pada kebiasaan dan tradisi yang membangun keberlanjutan– termasuk aspek-aspek seperti pencegahan perpindahan besar-besaran orang desa;
8. Menghargai dan bekerja dengan pandangan yang khusus secara budaya atas alam, masyarakat, dan dunia, alih-alih mengabaikan mereka atau menghancurkan mereka, secara sengaja ataupun karena kekurang hati-hatian, atas nama pembangunan;
9. Menggunakan pola-pola komunikasi lokal, termasuk penggunaan dan pengembangan bahasa-bahasa lokal, sebagai penghubung interaksi dan identitas budaya.
Persoalan kebudayaan
juga terhubung dengan pembangunan ekonomi melalui pendapatan, dimana perwujudan
budaya bisa menghasilkan, melalui seni, musik, dan tarian, sebaik dari
pariwisata. Di tempat berkembangnya industri kebudayaan seperti itu, harus ada
kesadaran penuh akan bahaya pengkomodifikasian kebudayaan dan merusaknya
menjadi sekedar objek ketertarikan orang luar. Kebudayaan harus dihargai
sebagai konteks yang hidup dan dinamis yang di dalamnya manusia di manapun
berada dapat menemukan nilai dan identitas mereka.
Tiga area ini –
masyarakat, lingkungan, dan ekonomi – saling berhubungan melalui dimensi
kebudayaan, sebuah karakter pembangunan berkelanjutan yang harus kita jaga
dalam pikiran. Tak ada aspek kehidupan yang tak tersentuh oleh pencapaian
pembangunan berkelanjutan, seperti halnya pembangunan yang semakin
berkelanjutan dan akan berpengaruh pada setiap bagian kehidupan. Oleh karena
Kompleksitas dan keterkaitan ini, ESD harus menyampaikan pesan-pesan kehidupan
yang tak kentara namun jelas, menyeluruh namun nyata, multidimensi namun
langsung.
Tujuan utamanya
adalah mencapai kehidupan bersama yang penuh perdamaian, dengan lebih sedikit
penderitaan, lebih sedikit kemiskinan di sebuah dunia tempat orang dapat
menjalankan hak-hak mereka sebagai umat manusia dan warga negara dengan cara
yang bermartabat. Pada saat yang sama lingkungan alam akan memainkan perannya
untuk melakukan regenerasi dengan menghindari hilangnya keanekaragaman dan
penumpukan limbah di biosfer dan geosfer. Kekayaan dalam keragaman di semua
sektor lingkungan natural, kultural, dan sosial adalah komponen mendasar untuk
sebuah ekosistem yang mapan dan untuk keamanan dan kegembiraan setiap
komunitas. Hubungan yang saling berkaitan ini menggaris bawahi kompleksitas
yang menjadi bagian dari lingkungan alam dan sistem pembelajaran manusia, yang
terus-menerus membutuhkan perawatan dengan pendekatan holistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar