Bencana banjir kini melanda kawasan Kota dan Kabupaten Tangerang, dengan menelan korban harta dan jiwa. Puluhan ribu orang harus diungsikan ke tempat yang relatif aman, dengan kualitas kehidupan yang menurun drastis, tinggal di tenda, gedung sekolah atau rumah ibadah, dengan makanan dan pakaian seadanya. Sementara di beberapa perumahan dan perkampungan, masih banyak orang yang bertahan di lantai dua atau di atap rumah, dengan alasan untuk menjaga keamanan rumahnya.
Proses
evakuasi dan pemberian bantuan memang tidak mudah, karena sebaran bencana yang
begitu luas. Di Kota Tangerang saja banjir meredam 75 kawasan permukiman dan
perkampungan yang dihuni oleh lebih dari 40 ribu jiwa. Tersebar di 40 kelurahan
dan beberapa kecamatan seperti Larangan, Ciledug, Karang Tengah, Pinang,
Cipondoh, Karawaci, Periuk, Cibodas, Jatiuwung dan Benda. Perumahan Ciledug
Indah I dan II di Kecamatan Karang Tengah, termasuk permukiman yang paling
parah. Karena kondisi medan yang cukup berat, tak heran jika ada korban yang
baru dievakuasi setelah lima hari kejadian, dalam kondisi kelaparan dan
kedinginan.
Banjir
merendam, menggenangi bahkan menenggelamkan ribuan rumah, tempat ibadah, gedung
sekolah, pusat bisnis dan pemerintahan, pabrik dan pesawahan, serta jalan
berikut alat-alat transportasi seperti mobil dan motor. Kerugian akibat banjir
secara materil bisa mencapai puluhan milyar rupiah, belum termasuk kerugian
akibat kehilangan produktivitas kerja dan usaha.
Selain
memulihkan perekonomian, hal yang perlu segera ditangani adalah pemulihan
kondisi psikologis, kesehatan dan lingkungan. Di samping itu, hal yang
sangat penting ialah menyangkut
manajemen banjir secara keseluruhan, baik sebagai upaya pemulihan berbagai
dampak, maupun sebagai langkah antisipasi
bencana banjir tahun-tahun yang akan datang.
Manajemen Dampak
Setiap
bencana, termasuk banjir, tentu saja
bisa menimbulkan beragam dampak, baik psikologis, sosial, ekonomi, kesehatan
maupun lingkungan. Ketika datang air bah yang terus meninggi, misalnya
bagaimana air dari Kali Angke dan Kali Pesanggrahan secara serentak meluap dan
meredam Perumahan Ciledug Indah I dan II, bisa saja ratusan orang mengalami
ketakutan yang luar biasa, sehingga tetap membekas. Inilah yang dimaksud trauma
psikologis, dan terhadap korban perlu dilakukan terapi oleh psikolog atau
psikiater.
Diberbagai
permukiman dan perkampungan, banjir juga menyebabkan trauma sosial. Makin besar
banjir makin besar pula trauma sosial yang ditimbulkannya. Trauma sosial akan
sangat dirasakan oleh masyarakat yang berada pada lapisan sosial menengah atas.
Sulit dibayangkan, bagaimana menghadapi perubahan yang drastis dalam kehidupan
sosial, dari semua yang berstatus sosial menengah atau tinggi, mendapat
penghormatan masyarakat sekitar, tiba-tiba harus menjalani kehidupan di
tenda-tenda pengungsian, yang tidak ada lagi tatanan sosial. Hal ini
membutuhkan kemampuan adaptasi yang tinggi, jika tidak maka akan terjadi trauma
sosial yang bercampur dengan trauma psikologis.
Dalam
kasus musibah seperti banjir, unsur keimanan seseorang sangat berperan dalam
memulihkan trauma psikologis dan sosial. Bagaimanapun, tidak ada daya dan
upaya, kecuali atas pertolongan Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Bagaimanapun
kalau diberi musibah harus bersabar, dan diberi nikmat harus bersyukur.
Paradigma dan Sikap hidup yang demikian,
tentu saja bisa mempercepat pemulihan trauma psikologis dan sosial.
Dampak
ekonomi banjir juga relatif sulit pemulihannya, terutama bagi masyarakat yang
bekerja di sektor informal serta usaha kecil dan menengah. Selain sebagian
besar barang yang dimiliki hilang atau rusak, sebagian orang mengalami
kehilangan sumber pendapatan. Pemulihan ekonomi terbentur pada modal dan
jaringan usaha yang terputus ketika banjir. Sedangkan bagi masyarakat dengan
pekerjaan tetap, baik di instansi pemerintah atau swasta, pemulihan ekonomi
tidak terlampau sulit. Pada akhirnya, barang yang hilang atau rusak dapat
dimiliki kembali dikemudian hari, apalagi jika rumah, kendaraan atau
barang-barang berharga milik mereka diasuransikan.
Manajemen
dampak ekonomi banjir, perlu diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang
kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Sebagai contoh, penanganan
yang dilakukan pemerintah pusat terhadap dampak bencana gempa di Yogyakarta dan
sekitarnya, beberapa bulan yang lalu, melalui program transmigrasi ke Lampung
dan Sulawesi Selatan. Selama empat bulan sebelumnya, masyarakat diberi
pelatihan pertanian, peternakan dan perikanan, sedangkan di tempat tujuan,
diberi fasilitas berupa rumah type 36, biaya hidup satu tahun dan lahan garapan
beberapa hektar. Masyarakat Tangerang yang kehilangan aset dan usahanya akibat
banjir, bisa mengikuti program serupa.
Penanganan
dampak ekonomi banjir, lebih luas lagi ialah dengan menghidupkan kembali
berbagai sarana dan prasarana bisnis yang sempat terganggu, terutama sarana
transportasi, perdagangan, perbankan, pertanian, industri, dan sebagainya.
Penanganan
dampak kesehatan, teruama dengan mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai
penyakit seperti demam berdarah, kulit, infeksi saluran pernafasan, diare, dan
sebagainya. Baik posko kesehatan, klinik kesehatan dan rumah sakit perlu
disiap-siagakan secara penuh. Sudah selayaknya, baik Pemerintah Kota atau
Kabupaten Tangerang berupaya menggratiskan biaya pengobatan para korban banjir.
Penanganan
dampak lingkungan, mulai dari lingkungan RT, RW, kelurahan, kecamatan,
kabupaten/kota maupun yang terkait dengan daerah lain. Dalam hal ini Pemkot dan Pemkab Tangerang
perlu berkoordinasi dan duduk bersama dalam upaya mengatasi persoalan
banjir. Pada dasarnya banjir terjadi
karena curah hujan di atas normal, sehingga saluran penampung air terlampaui kapasitasnya,
terjadilah luapan. Adanya banjir kiriman dari daerah aliraran sungai di bagian
hulu, menyebabkan luapan itu semakin besar.
Manajemen
dampak lingkungan banjir harus meliputi upaya yang dilakukan di hulu dan di
hilir. Baik Kali Angke atau Cisadane, keduanya berhulu di kawasan pegunungan
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dengan demikian, selain melalui penyediaan situ
atau danau penampung air hujan, perbaikan drainase perkotaan, dan pelebaran
sungai, maka dibagian hulu pun perlu dilakukan rekonstruksi ekologis, antara
lain melalui reboisasi.
Dalam
hal ini Pemkot Tangerang pernah melakukan pengerukan dan pelebaran Kali Angke,
khususnya dibagian sungai yang berbatasan langsung dengan Komplek Ciledug Indah
I dan II. Namun karena banjir kiriman dengan debit air yang sangat besar, maka
tetap saja Kali Angke tidak mampu menampungnya, dan akhirnya menggenangi
perumahan tersebut.
Manajemen Antisipasi
Ibarat
keledai tidak terperosok dua kali ke lubang yang sama, artinya keledai pun
belajar dari pengalaman. Dengan demikian, beberapa kali banjir sudah selayaknya
menjadi pengalaman dan pelajaran yang sangat berarti. Dalam hal ini manajemen
antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya banjir pada tahun-tahun mendatang,
apakah itu siklus tahunan atau lima tahunan, harus lebih baik lagi.
Paling
tidak anggaran yang memadai perlu dipersiapkan jauh-jauh hari, dan dimasukkan
ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedini mungkin Pemda
perlu menyiapkan sarana evakuasi seperti perahu karet berikut mesinnya, tenda,
MCK darurat, sarana pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), bahan sandang,
pangan dan obat-obatan.
Bagaimanapun banjir merupakan bencana yang datang
tanpa diundang, dengan demikian langkah antisipasi menjadi sangat penting.
Untuk mengatasinya, sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemda, tetapi
menjadi tanggung jawab seluruh komponen nasional atau daerah, baik BUMN,
swasta, TNI, Polri, LSM, dan masyarakat pada umumnya. Yang terpenting ialah
bagaimana manajemen banjir dilaksanakan dengan prinsip kebersamaan, sehingga
penanganannya menjadi lebih cepat, tepat dan efisien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar