Lynn
White Jr pernah mengkritik, weltanschauung agama-agama moneteistik tidak
bersahabat dengan alam. Menurut dia, penafsiran agama bahwa posisi manusia
superior di atas alam sehingga eksploitasi alam menjadi sakral, merupakan akar
masalah ekologi sekarang. Yang berkembang adalah etika mengeksploitasi, bukan
etika melindungi.
Graham
Parkes dari University of Hawaii berpendapat, pandangan keagamaan suatu
kelompok masyarakat amat berpengaruh dalam menentukan sikap dan perilaku mereka
terhadap alam dan lingkungannya. Ada world view yang mempengaruhi sikap
kurang bersahabat dengan alam. Pertama, latar belakang filsafat Platonik yang
menganggap dunia fisik (physical world) tidak berwujud.
Kedua,
ajaran agama yang menempatkan alam dan lingkungan pada posisi yang lebih rendah
dari manusia, sehingga layak dieksploitasi sekehendak manusia. (Alwi Shihab, Islam
Inklusif, 1998)
Pendapat
White dan Parkes itu merupakan tantangan bagi agama-agama, sekaligus tidak
berarti meremehkan pentingnya pendekatan spiritual dan agama yang ramah
ekologi. Teologi agama-agama bisa saja sejalan dengan atau mendukung konsep
seperti skenario sehat, humanistik, dan ekologis (SHE) yang ditawarkan James
Robertson dalam bukunya The Sane Alternative: A Choice of Future (1983).
Isu
lingkungan juga dapat mempertemukan agama-agama. Teologi ekologi lintas agama
yang melihat lingkungan sebagai bagian dari sistem holistik Ketuhanan mendesak
dikembangkan. Sayangnya, di tingkat dunia, World Charter for Nature
(WCN) PBB 1982 dan Earth Summit di Rio de Janeiro 1992, belum menyentuh
dimensi teologi dan spiritual. Teologi baru dilibatkan ketika ada Deklarasi
Asisis tahun 1976 dan Islamic Principles for the Conservation of the Natural
Environment (IPCNE) tahun 1983.
Di Indonesia kerja bareng lintas
agama dalam isu lingkungan belum terdengar lagi setelah Workshop Traditional
Belief and Religious Approaches to Environmental Preservation tahun 1994 di
Jakarta dan Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar