Program
pertama, menarik genangan air hujan ke sistem tata air. Hingga kini Jakarta
memakai pola Van Breen (1923) yang dikembangkan pemerintah bersama NEDECO
Belanda (1974, 1999) dan JICA Jepang (1997, 2004) menjadi Rencana Induk
Pengelolaan Banjir dengan menata 13 sungai dan membangun Banjir Kanal Barat dan
Timur. Program ini mencakup pengelolaan daerah aliran sungai, pengerukan
berkala kedalaman sungai, serta pemeliharaan situ regulator dan waduk retensi
sebagai terminal banjir dalam rangka storm water management.
Memindahkan
ibu kota
Dinas
Pertambangan DKI Jakarta dan LPM Institut Teknologi Bandung telah menyusun peta
geologi berdasarkan komposisi batuan dengan ukuran daya tanah menyerap air.
Kawasan tanah berdaya serap air tinggi perlu diselamatkan dari bangunan menutup
tanah, sedangkan kawasan berdaya serap air rendah perlu menerapkan "solusi
engineering" dalam konstruksi bangunan dengan tata drainase khusus.
Merosotnya
daya serap air hujan Jakarta adalah pertanda beban pembangunan bangunan dan
infrastruktur melampaui daya dukung lingkungan kota. Untuk tidak memperparah
kondisi Jakarta, "gula-gula" pembangunan harus disebar ke luar kota,
seperti memindahkan Bandara Soekarno-Hatta ke Cengkareng, Kampus UI ke Depok.
Perlu lebih banyak sentra kegiatan pembangunan dipindahkan ke luar Jakarta,
seperti perluasan Pelabuhan Tanjung Priok, pengembangan kawasan industri,
pembangunan hipermarket, mal, pusat perdagangan, dan pusat pendidikan.
Fungsi
utama Jakarta sebagai ibu kota negara. Hadirnya bangunan Istana Presiden,
Kompleks Bank Indonesia, kantor departemen dan kedutaan asing memberi isi pada
fungsi utama kota. Karena itu, "memindahkan ibu kota negara atau kegiatan
pemerintahan ibu kota ke luar Jakarta" adalah gagasan yang mahal dan tidak
menyentuh persoalan utama. Beban kota hanya bisa dikurangi dengan
menyederhanakan fungsi kota dan menyebarkan "gula-gula" ke luar kota.
Dengan pendekatan "solusi engineering" perlu dikembangkan arsitektur
bangunan dan drainase air agar tetap utuh berfungsi.
Jasa
penduduk
Jika
penduduk hilir ingin menghindari "banjir kiriman", selayaknya mereka
dan pemda membayar "jasa memelihara ekosistem meredam banjir kiriman"
kepada penduduk dan pemda di hulu. Pemerintah pusat dan daerah kawasan hilir
yang berkepentingan dengan keutuhan daerah tangkap hulu sungai perlu
mengompensasikan pelestarian yang dilakukan daerah dan penduduk lokal di hulu.
Jasa memelihara hulu sungai tidak gratis, perlu diberi nilai ekonomi melalui
pajak, subsidi, retribusi, dan pungutan resmi sebagai koreksi pasar.
Guna menjamin keberlanjutan program
pengelolaan banjir yang bersifat lintas sektor dan berjangka panjang
multitahun, maka anggaran program seperti ini perlu diberi "kode bintang
khusus" dalam APBN. Dan ditetapkan "penanggung jawab utama"
mengoordinasikan mata anggaran lintas sektor, dan dijamin peran serta
masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar