Rabu, 05 Juni 2013

Manajemen Banjir Tangerang


 
Bencana banjir kini melanda kawasan Kota dan Kabupaten Tangerang, dengan menelan korban harta dan jiwa. Puluhan ribu orang harus diungsikan ke tempat yang relatif aman, dengan kualitas kehidupan yang menurun drastis, tinggal di tenda, gedung sekolah atau rumah ibadah, dengan makanan dan pakaian seadanya. Sementara di beberapa perumahan dan perkampungan, masih banyak orang yang bertahan di lantai dua atau di atap rumah, dengan alasan untuk menjaga keamanan rumahnya.
Proses evakuasi dan pemberian bantuan memang tidak mudah, karena sebaran bencana yang begitu luas. Di Kota Tangerang saja banjir meredam 75 kawasan permukiman dan perkampungan yang dihuni oleh lebih dari 40 ribu jiwa. Tersebar di 40 kelurahan dan beberapa kecamatan seperti Larangan, Ciledug, Karang Tengah, Pinang, Cipondoh, Karawaci, Periuk, Cibodas, Jatiuwung dan Benda. Perumahan Ciledug Indah I dan II di Kecamatan Karang Tengah, termasuk permukiman yang paling parah. Karena kondisi medan yang cukup berat, tak heran jika ada korban yang baru dievakuasi setelah lima hari kejadian, dalam kondisi kelaparan dan kedinginan.
Banjir merendam, menggenangi bahkan menenggelamkan ribuan rumah, tempat ibadah, gedung sekolah, pusat bisnis dan pemerintahan, pabrik dan pesawahan, serta jalan berikut alat-alat transportasi seperti mobil dan motor. Kerugian akibat banjir secara materil bisa mencapai puluhan milyar rupiah, belum termasuk kerugian akibat kehilangan produktivitas kerja dan usaha.
Selain memulihkan perekonomian, hal yang perlu segera ditangani adalah pemulihan kondisi psikologis, kesehatan dan lingkungan. Di samping itu, hal yang sangat   penting ialah menyangkut manajemen banjir secara keseluruhan, baik sebagai upaya pemulihan berbagai dampak, maupun sebagai langkah antisipasi  bencana banjir tahun-tahun yang akan datang.

Manajemen Dampak
Setiap bencana, termasuk banjir,  tentu saja bisa menimbulkan beragam dampak, baik psikologis, sosial, ekonomi, kesehatan maupun lingkungan. Ketika datang air bah yang terus meninggi, misalnya bagaimana air dari Kali Angke dan Kali Pesanggrahan secara serentak meluap dan meredam Perumahan Ciledug Indah I dan II, bisa saja ratusan orang mengalami ketakutan yang luar biasa, sehingga tetap membekas. Inilah yang dimaksud trauma psikologis, dan terhadap korban perlu dilakukan terapi oleh psikolog atau psikiater.
Diberbagai permukiman dan perkampungan, banjir juga menyebabkan trauma sosial. Makin besar banjir makin besar pula trauma sosial yang ditimbulkannya. Trauma sosial akan sangat dirasakan oleh masyarakat yang berada pada lapisan sosial menengah atas. Sulit dibayangkan, bagaimana menghadapi perubahan yang drastis dalam kehidupan sosial, dari semua yang berstatus sosial menengah atau tinggi, mendapat penghormatan masyarakat sekitar, tiba-tiba harus menjalani kehidupan di tenda-tenda pengungsian, yang tidak ada lagi tatanan sosial. Hal ini membutuhkan kemampuan adaptasi yang tinggi, jika tidak maka akan terjadi trauma sosial yang bercampur dengan trauma psikologis.
Dalam kasus musibah seperti banjir, unsur keimanan seseorang sangat berperan dalam memulihkan trauma psikologis dan sosial. Bagaimanapun, tidak ada daya dan upaya, kecuali atas pertolongan Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Bagaimanapun kalau diberi musibah harus bersabar, dan diberi nikmat harus bersyukur. Paradigma dan Sikap hidup yang  demikian, tentu saja bisa mempercepat pemulihan trauma psikologis dan sosial.
Dampak ekonomi banjir juga relatif sulit pemulihannya, terutama bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal serta usaha kecil dan menengah. Selain sebagian besar barang yang dimiliki hilang atau rusak, sebagian orang mengalami kehilangan sumber pendapatan. Pemulihan ekonomi terbentur pada modal dan jaringan usaha yang terputus ketika banjir. Sedangkan bagi masyarakat dengan pekerjaan tetap, baik di instansi pemerintah atau swasta, pemulihan ekonomi tidak terlampau sulit. Pada akhirnya, barang yang hilang atau rusak dapat dimiliki kembali dikemudian hari, apalagi jika rumah, kendaraan atau barang-barang berharga milik mereka diasuransikan.
Manajemen dampak ekonomi banjir, perlu diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Sebagai contoh, penanganan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap dampak bencana gempa di Yogyakarta dan sekitarnya, beberapa bulan yang lalu, melalui program transmigrasi ke Lampung dan Sulawesi Selatan. Selama empat bulan sebelumnya, masyarakat diberi pelatihan pertanian, peternakan dan perikanan, sedangkan di tempat tujuan, diberi fasilitas berupa rumah type 36, biaya hidup satu tahun dan lahan garapan beberapa hektar. Masyarakat Tangerang yang kehilangan aset dan usahanya akibat banjir, bisa mengikuti program serupa.
Penanganan dampak ekonomi banjir, lebih luas lagi ialah dengan menghidupkan kembali berbagai sarana dan prasarana bisnis yang sempat terganggu, terutama sarana transportasi, perdagangan, perbankan, pertanian, industri, dan sebagainya.
Penanganan dampak kesehatan, teruama dengan mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai penyakit seperti demam berdarah, kulit, infeksi saluran pernafasan, diare, dan sebagainya. Baik posko kesehatan, klinik kesehatan dan rumah sakit perlu disiap-siagakan secara penuh. Sudah selayaknya, baik Pemerintah Kota atau Kabupaten Tangerang berupaya menggratiskan biaya pengobatan para korban banjir.
Penanganan dampak lingkungan, mulai dari lingkungan RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota maupun yang terkait dengan daerah lain.  Dalam hal ini Pemkot dan Pemkab Tangerang perlu berkoordinasi dan duduk bersama dalam upaya mengatasi persoalan banjir.  Pada dasarnya banjir terjadi karena curah hujan di atas normal, sehingga saluran penampung air terlampaui kapasitasnya, terjadilah luapan. Adanya banjir kiriman dari daerah aliraran sungai di bagian hulu, menyebabkan luapan itu semakin besar.
Manajemen dampak lingkungan banjir harus meliputi upaya yang dilakukan di hulu dan di hilir. Baik Kali Angke atau Cisadane, keduanya berhulu di kawasan pegunungan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dengan demikian, selain melalui penyediaan situ atau danau penampung air hujan, perbaikan drainase perkotaan, dan pelebaran sungai, maka dibagian hulu pun perlu dilakukan rekonstruksi ekologis, antara lain melalui reboisasi.
Dalam hal ini Pemkot Tangerang pernah melakukan pengerukan dan pelebaran Kali Angke, khususnya dibagian sungai yang berbatasan langsung dengan Komplek Ciledug Indah I dan II. Namun karena banjir kiriman dengan debit air yang sangat besar, maka tetap saja Kali Angke tidak mampu menampungnya, dan akhirnya menggenangi perumahan tersebut.
  
Manajemen Antisipasi
Ibarat keledai tidak terperosok dua kali ke lubang yang sama, artinya keledai pun belajar dari pengalaman. Dengan demikian, beberapa kali banjir sudah selayaknya menjadi pengalaman dan pelajaran yang sangat berarti. Dalam hal ini manajemen antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya banjir pada tahun-tahun mendatang, apakah itu siklus tahunan atau lima tahunan, harus lebih  baik lagi.
Paling tidak anggaran yang memadai perlu dipersiapkan jauh-jauh hari, dan dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedini mungkin Pemda perlu menyiapkan sarana evakuasi seperti perahu karet berikut mesinnya, tenda, MCK darurat, sarana pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), bahan sandang, pangan dan obat-obatan.

Bagaimanapun banjir merupakan bencana yang datang tanpa diundang, dengan demikian langkah antisipasi menjadi sangat penting. Untuk mengatasinya, sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemda, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh komponen nasional atau daerah, baik BUMN, swasta, TNI, Polri, LSM, dan masyarakat pada umumnya. Yang terpenting ialah bagaimana manajemen banjir dilaksanakan dengan prinsip kebersamaan, sehingga penanganannya menjadi lebih cepat, tepat dan efisien.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar