Jumat, 07 Juni 2013

TEOLOGI DAN KONSERVASI EKOLOGI

Lynn White Jr pernah mengkritik, weltanschauung agama-agama moneteistik tidak bersahabat dengan alam. Menurut dia, penafsiran agama bahwa posisi manusia superior di atas alam sehingga eksploitasi alam menjadi sakral, merupakan akar masalah ekologi sekarang. Yang berkembang adalah etika mengeksploitasi, bukan etika melindungi.
Graham Parkes dari University of Hawaii berpendapat, pandangan keagamaan suatu kelompok masyarakat amat berpengaruh dalam menentukan sikap dan perilaku mereka terhadap alam dan lingkungannya. Ada world view yang mempengaruhi sikap kurang bersahabat dengan alam. Pertama, latar belakang filsafat Platonik yang menganggap dunia fisik (physical world) tidak berwujud.
Kedua, ajaran agama yang menempatkan alam dan lingkungan pada posisi yang lebih rendah dari manusia, sehingga layak dieksploitasi sekehendak manusia. (Alwi Shihab, Islam Inklusif, 1998)
Pendapat White dan Parkes itu merupakan tantangan bagi agama-agama, sekaligus tidak berarti meremehkan pentingnya pendekatan spiritual dan agama yang ramah ekologi. Teologi agama-agama bisa saja sejalan dengan atau mendukung konsep seperti skenario sehat, humanistik, dan ekologis (SHE) yang ditawarkan James Robertson dalam bukunya The Sane Alternative: A Choice of Future (1983).
Isu lingkungan juga dapat mempertemukan agama-agama. Teologi ekologi lintas agama yang melihat lingkungan sebagai bagian dari sistem holistik Ketuhanan mendesak dikembangkan. Sayangnya, di tingkat dunia, World Charter for Nature (WCN) PBB 1982 dan Earth Summit di Rio de Janeiro 1992, belum menyentuh dimensi teologi dan spiritual. Teologi baru dilibatkan ketika ada Deklarasi Asisis tahun 1976 dan Islamic Principles for the Conservation of the Natural Environment (IPCNE) tahun 1983.

Di Indonesia kerja bareng lintas agama dalam isu lingkungan belum terdengar lagi setelah Workshop Traditional Belief and Religious Approaches to Environmental Preservation tahun 1994 di Jakarta dan Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar