Kenaikan suhu bumi akan membawa dampak ikutan
yang luar biasa, yang tidak satu pun sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup
terbebas darinya. Produksi pangan menurun, fluktuasi dan ditribusi ketersediaan
air terganggu, hama dan penyakit tanaman serta manusia menggila. Perubahan
iklim akhirnya mengancam keberlanjutan kehidupan.
Pertanian Indonesia sudah merasakan
dampaknya. Tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk telah
memicu banjir, termasuk di area sawah. Sebagai gambaran, rentang 1995-2005,
total padi yang terendam banjir seluas 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu,
471.711 hektare di antaranya puso. Sawah yang kekeringan seluas 2.131.579
hektare, 328.447 hektare di antaranya gagal panen. Tahun lalu, 189.773 hektare
dari 577.046 hektare padi gagal panen karena banjir dan kekeringan. Dengan
rata-rata produksi 4,6 ton gabah per hektare, pada 2006 gabah yang hilang
872.955 ton.
Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya ketahanan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Petani harus diyakinkan bahwa praktik bercocok tanam perlu diubah. Dengan varietas, cara tanam, dan sistem pengairan tertentu, petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dari sawah. Hasil penelitian pengaruh cara pengelolaan padi terhadap emisi CH4 di Jakenan, Jawa Tengah (Setyanto dan Abubakar, 2006), menunjukkan varietas IR-64, Memberamo, dan Way Apo Buru yang ditanam dengan pindah bisa menekan emisi CH4 berturut-turut 60 persen, 35 persen, dan 38 persen dibanding varietas Cisadane.
Secara ekonomi, Memberamo dan Way Apo Buru
yang ditanam dengan cara tabur benih langsung merupakan teknologi mitigasi gas
metana yang terbaik karena bisa memberi keuntungan berturut-turut 81 dolar AS
dan 82 dolar AS per hektare serta mengurangi emisi CH4 sebesar 21 persen dan 29
persen. Menjadi tugas Departemen Pertanian, terutama penyuluh di lapangan,
untuk meyakinkan petani agar beralih dari IR64, varietas yang banyak ditanam
saat ini. Memberamo dan Way Apo Buru bukan saja efektif menekan emisi metana,
tapi memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (7-9 ton per hektare) dan
berumur genjah.
Di wilayah-wilayah yang lebih kering, cuaca
lebih panas, petani perlu mengganti jenis tanaman yang lebih toleran terhadap
kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah
seperti masa lalu di wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas atau lahan
kering yang mengandalkan tadah hujan. Sistem pengairan sawah tidak lagi
dilakukan dengan penggenangan terus-menerus, tapi cukup macak-macak. Dari uji
coba lapangan, cara ini ternyata lebih hemat air dan tidak menurunkan produksi.
Terobosan lain adalah memberi informasi cuaca
kepada petani selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara spesifik.
Informasi cuaca sudah tersedia, bahkan kualitas prediksi cuaca terbukti lebih
valid (Tempo, 6-12/8/2007). Persoalannya tinggal memperbaiki informasi
cuaca dan membuatnya komunikatif, terutama bagi petani. Sejauh ini, pemanfaatan
informasi cuaca masih didominasi sektor penerbangan dan militer. Bagaimana
membuat petani tidak hanya bisa mengakses, tapi juga membaca cuaca dengan
bahasa mereka menjadi persoalan yang perlu segera dicarikan jalan keluar.
Dengan cara-cara ini petani bisa terhindar dari kerugian sekaligus menekan
emisi metana (Khudori, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar