Pemanasan
global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
(seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir,
peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna
tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi
aktivitas sosial-ekonomi masyarakat
meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b)
gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan
dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan
produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah
penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua
dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
Walaupun dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir
yang sesungguhnya masih menjadi debat dalam dunia riset, dalam makalah ini
dapat dikemukakan skenario kenaikan muka air laut yang dikeluarkan oleh Intergovernmental
Panel on Climate Change (1990), dimana disebutkan adanya 3 (tiga) skenario
kenaikan permukaan air laut (sea level
rise). Beberapa studi yang
dilakukan untuk Indonesia menggunakan skenario moderat yakni kenaikan sebesar ± 60 cm hingga akhir abad 21
sebagai pijakan.
Gangguan
terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan
kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap
permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot
pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau,
kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307
juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan
keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang [i]hanya
berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,[1]
dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS
Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada
pangan di Indonesia.
1. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan
hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau,
tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran
garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang
mencapai 202.500 ha.[2]
2. Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir
lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan,
baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental
Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak
kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat
pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni
antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil
langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi
lindung – akan menyebabkan run-off
yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada
wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional
dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat
penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya
melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang
Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang
memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai
pada masa yang akan datang.
Intervensi
kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi
tujuan-tujuan berikut :
·
Mewujudkan
pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai
dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga
fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
·
Mengurangi kerentanan
(vulnerability) dari kawasan pesisir
dan para pemukimnya (inhabitants)
dari ancaman kenaikan muka air laut,
banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural
hazards) lainnya.
Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial
sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah
pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber
daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated
coastal zone management). (anonim,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar