Kamis, 11 April 2013

STUDY KASUS 2 PEMANASAN GLOBAL


Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk beradaptasi dengan dampak ekstrem pemanasan global?
Jakarta, 21 April 2006 – “Ini menunjukkan bahwa dunia internasional menganggap ancaman perubahan iklim sebagai ancaman serius abad ini bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.” ujar Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif WWF-Indonesia, menanggapi  dicanangkannya pemanasan global sebagai tema Hari Bumi selama 3 tahun ke depan. “Menurut laporan IPCC (Panel Ahli tentang Perubahan Iklim) dalam 100 tahun terakhir suhu bumi telah meningkat sekitar 0,7 C,”  lanjutnya.
IPCC memprediksikan jika tidak ada upaya yang dilakukan secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 5,8◦C, terhitung dari tahun 1990. Para ahli perubahan iklim dunia percaya bahwa jika kenaikan temperatur rata-rata pada tahun 2100 melebihi 2◦C dari suhu rata-rata tahun 1900, maka akan terjadi kepunahan banyak spesies dan ekosistem.
WWF bersama banyak lembaga konservasi lingkungan di dunia mendukung pernyataan di atas. “Sebagian besar ekosistem tidak akan mampu beradaptasi terhadap pemanasan global, maka secara tegas kami menyerukan agar semua pihak berupaya agar kenaikan suhu bumi secara global tidak melebihi 2oC dari suhu pada masa sebelum revolusi industri,” tambah Eka Melisa, Direktur Perubahan Iklim dan Energi WWF-Indonesia.
Berdasarkan Laporan WWF, Habitat at Risk (2002), lebih dari 80% spesies tanaman dan binatang akan punah bila emisi karbon meningkat dua kali lipat dalam 100 tahun mendatang.
Bagaimana dengan Indonesia?
“Sebagai negara kepulauan, Indonesia dipastikan sangat rentan terhadap berbagai dampak ekstrem perubahan iklim. Dan hingga saat ini sudah banyak dampak-dampak perubahan iklim yang telah dirasakan,” jelas Eka.
Pada tahun 1997/1998, El Nino telah menyebabkan terjadinya peristiwa pemutihan karang secara luas di beberapa wilayah seperti bagian timur Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu, 90 -95% terumbu karang yang berada hingga kedalaman 25 meter mengalami kematian akibat pemutihan karang (Reefs at Risk in Southeast Asia, WRI, 2002) . Sementara di Bali Barat sendiri pemutihan karang menyerang sekitar 75-100% tutupan karang.
Peristiwa El Nino tersebut juga telah mengakibatkan terbakarnya kawasan hutan yang hampir seluas 10 juta ha (FWI, 2001). Sementara 80% dari kejadian tersebut terjadi di lahan gambut. Padahal lahan gambut merupakan penyerap emisi karbon terbesar di dunia. Akibat peristiwa ini, sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon dilepaskan ke atmosfer.
 “Kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa ini  tidak sedikit, lebih dari US$ 3 milyar. Termasuk di dalamnya dampak terhadap kesehatan, transportasi dan industri pariwisata,” jelas Fitrian Ardiansyah, Koordinator untuk Restorasi Hutan dan Mitigasi Ancaman, Program Kehutanan WWF-Indonesia.
Apa yang harus dilakukan?
Indonesia sebagai negara yang kegiatan ekonominya masyarakatnya bersandar pada sumber daya alam sangatlah rentan terhadap perubahan iklim. Sektor pertanian, kesehatan, perikanan, kelautan, pariwisata, kehutanan, dan perindustrian merupakan sektor-sektor yang kritis terkena dampak. Untuk itu, sektor-sektor tersebut perlu ditingkatkan kemampuannya, beradaptasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim, baik dari segi kegiatan ekonomi, namun khususnya dalam hal pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan perubahan iklim.
Dekatnya isu perubahan iklim dengan isu pembangunan menyebabkan WWF-Indonesia mengingatkan semua pihak untuk mengubah paradigma yang melihat ancaman perubahan iklim sebagai isu lingkungan atau isu sektoral semata menjadi isu yang harus ditindak lanjuti dalam konteks nasional. “Sudah saatnya semua sektor tidak lagi berpikir secara sektoral, namun bersinergi membuat sebuah mekanisme satu atap untuk merancang sebuah strategi adaptasi nasional,” tegas Eka.
Fitrian menambahkan pentingnya bagi Indonesia untuk membuat manajemen database yang baik mengenai data-data dampak perubahan iklim serta membangun sistem peringatan dini (early warning system) dan. “Langkah ini merupakan syarat penting untuk mengembangkan strategi adaptasi nasional,” tegasnya.
WWF-Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia langkah-langkah yang perlu di lakukan dalam mengembangkan strategi adaptasi nasional, yaitu:
1. Membangun sistem informasi dan database mengenai dampak-dampak perubahan iklim, termasuk di dalamnya:
a. Mengidentifikasi dampak-dampak perubahan iklim yang telah dan akan terjadi di Indonesia
b. Menetapkan daerah-daerah yang kritis akan dampak sebagai prioritas untuk melakukan tindakan adaptasi
2. Mengembangkan sistem peringatan dini akan bencana-bencana alam yang akan terjadi, seperti kebakaran hutan, banjir, badai, pemutihan karang, dsb
3. Manajemen dampak akan dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi
4. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat ketika dampak perubahan iklim terjadi

“Kegiatan ini tidak akan berhasil tanpa mengikutsertakan berbagai pihak di tingkat lokal sebagai pihak yang rentan terkena dampak. Untuk itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar lokasi dalam pelaksanaan strategi adaptasi ke masyarakat lokal,” ujar Mubariq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar