Berkaitan dengan pencanangan
revitalisasi pertanian dan pemenuhan target peningkatan produksi dua (2) juta
ton beras oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal tahun 2007. Salah
satu wacana yang kuat diangkat adalah mengenai penggunaan benih padi hibrida,
yang bagi beberapa kalangan dianggap sebagai salah satu solusi terbaik untuk
memenuhi target peningkatan produksi. Tidak tanggung-tanggung, Wakil Presiden
Yusuf Kalla sendiri turun tangan langsung untuk memimpin delegasi Indonesia ke
China yang terdiri dari Pengusaha, Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia, Menteri
Perdagangan, dan Menteri Pertanian untuk menjajagi berbagai kemungkinan
kerjasama untuk mendatangkan benih-benih hibrida dan juga alih teknologi dari
negeri penghasil sekaligus pengonsumsi beras terbesar di dunia tersebut.
Bagi sebagian pihak, kunjungan itu
diyakini sebagai sebuah langkah penting dan konkret dari pemerintah untuk terus
mengupayakan perbaikan sektor pertanian di Indonesia, terutama pertanian padi
dengan tujuan meningkatkan produktivitas, yang diharapkan akan berdampak pada
kestabilan harga beras. Namun, sebetulnya kita juga harus melihat langkah
pemerintah dengan kritis dan hati-hati. Sejarah sudah membuktikan bahwa
persoalan pertanian—khususnya beras—di Indonesia sangat erat kaitannya dengan
kepentingan politik dan industri yang justru dalam jangka panjang dapat
merugikan banyak pihak, baik petani maupun konsumen. Revolusi Hijau yang sangat
berorientasi pada peningkatan hasil produksi justru mengakibatkan dampak
negatif berkepanjangan dari segi ekonomi, lingkungan, hingga rusaknya tatanan
budaya bercocok tanam padi bagi petani sawah. Sejarah juga mencatat bahwa
sistem pertanian yang bersifat ‘high input’ justru telah menyebabkan rusaknya
ekosistem, terjadinya ledakan hama, turunnya kualitas padi (yang ditandai
dengan tingginya kandungan residu kimia dalam beras yang kita konsumsi) dan
hilangnya berbagai pengetahuan bercocok tanam yang selama ratusan tahun
terbukti ramah lingkungan, murah dan efektif.
Tulisan ini tidak bermaksud mengajak
pembaca untuk bersikap skeptis terhadap penggunaan teknologi dalam budidaya
pertanian–termasuk penerapan teknologi biologi seperti penggunaan bibit
hibrida—melainkan untuk memberikan gambaran dan mencoba melemparkan satu wacana
bagi revitalisasi pertanian yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan
hasil panen. Saya ingin mengajak berbagai pihak untuk turut memperhatikan
faktor-faktor ‘lain’ yang terkait dengan mata rantai budi daya dan konsumsi
tanaman padi seperti kesejahteraan petani, perbaikan kualitas padi, dan yang
paling penting adalah penguatan peran petani sebagai pelaku utama kegiatan
pertanian.
Terus terang saya terkejut dan
prihatin ketika pertama kali membaca berita mengenai kunjungan Bapak Wakil
Presiden Yusuf Kalla ke negeri China. Apa yang saya baca dalam berita tersebut
menurut saya bertolak belakang dengan pengalaman saya selama melakukan riset,
membuat film, dan melakukan program pengabdian masyarakat untuk Departemen
Antropologi UI di Indramayu yang terangkum dalam proyek Bisa Dèwèk. Selama dua musim berkeliling di 13 kecamatan
untuk melakukan penelitian, medokumentasikan, dan menjalankan workshop dan
pemutaran film dokumenter tentang kemandirian petani bersama-sama dengan IPPHTI
(Ikatan Peteni Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) Indramayu. Saya bertemu
dengan beberapa orang petani di Indramayu yang memliki kreativitas, daya juang
dan semangat yang tinggi. Tidak hanya dalam hal melakukan cocok tanam dan
budidaya tanaman yang sudah menjadi bagian dari mata pencaharian mereka, tetapi
juga dalam melakukan penelitian dan menggali pengetahuan-pengetahuan dari
berbagai sumber untuk dapat menunjang aktivitas pertaniannya.
Dari beberapa kasus yang berhasil
kami kumpulkan misalnya, kita dapat melihat bahwa dengan penuh ketekunan
beberapa orang petani berhasil mengembangkan varietas padi hasil persilangan
yang produktivitasnya bahkan lebih tinggi dari varietas padi berlabel yang
didistribusikan olah perusahaan benih. Belum lagi beberapa orang petani yang
dengan tekun dan teliti melakukan berbagai percobaan untuk dapat menghasilkan
pestisida dari bahan-bahan alami seperti kecubung, bawang putih, dan berbagai
tanaman lokal yang sudah sejak ratusan tahun lalu dipergunakan sebagai pengusir
hama (kebanyakan pengetahuan semacam ini hilang setelah diperkenalkannya
pestisida kimia).
Persolannya memang tidak semua
petani mampu dan mau melakukan berbagai kegiatan percobaan dan mengupayakan
kegiatan-kegiatan seperti pemuliaan tanaman atau pertanian organik. Hal itu
akan terkait dengan persoalan-persoalan lain seperti kepemilikan lahan,
dukungan kebijkan dan lain sebagainya. Walau sepintas persoalan pertanian
nampak seperti benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya. Namun,
sebetulnya ada banyak hal yang bisa kita lakukan asal pembuat kebijakan
memiliki visi yang jelas dan berpihak untuk kepentingan orang banyak. Walau
bagaimanapun, masalah pertanian terkait dengan kepentingan produsen dan
konsumen produk pertanian—yang berarti adalah kita semua.
Dari segi kebijakan saya melihat
bahwa pemerintah seharusnya tidak lagi memfokuskan usaha revitalisasi pertanian
yang berorientasi semata-mata hanya pada hasil dan peningkatan produksi. Sudah
waktunya kita melakukan usaha-usaha untuk memperkuat peranan petani sebagai
pelaku utama. Artinya, bagaimana menciptakan petani-petani kreatif yang mampu
mengupayakan usaha budidaya pertanian yang murah, memiliki produktivitas yang
tinggi dan sekaligus produknya sehat untuk dikonsumsi. Dengan kata lain
menciptakan situasi sama-sama menang ‘win-win solution’.
Mengapa ‘win-win solution?’
sebagaian dari pembaca surat kabar yang ada di kota mungkin tidak dapat
membayangkan bagaimana petani melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan
tanamannya agar tidak gagal panen—yang berarti bencana bagi ekonomi keluarga.
Cobalah pergi ke salah satu sentra beras di Pantura. Anda akan menemukan
bagaimana tanaman padi yang kita makan disemprot dengan berbagai macam bahan
kimia hampir dalam setiap tahapan dalam masa pertumbuhan padi (mulai dari
pestisida, herbisida, fungisida, dan lain sebagainya). Ditambah lagi berbagai
asupan kimia lainnya seperti zat tumbuh tanaman, zat hijau daun, ‘padi booster’
dan lain-lain.
Belum lagi jika Anda pergi ke pabrik
pengolahan beras. Di sana dapat dilihat proses pengolahan padi agar menjadi
bersih, putih dan mengkilat—sesuai dengan selera dan kriteria akan beras yang
baik bagi kebanyakan orang kota—yang lagi-lagi menggunakan berbagai asupan
kimia yang berbahaya bagi tubuh kita. Bagi petani, proses budidaya pertanian
yang sangat tergantung pada asupan dari luar tersebut mencerminkan proses
produksi biaya tinggi yang tidak menguntungkan. Sedangkan bagi konsumen,
situasi tersebut juga merugikan, karena produk pertanian yang dikonsumsi tidak
sehat bagi tubuh. Saya menemukan beberapa kasus di mana petani justru tidak mau
mengkonsumsi padi yang mereka tanam karena mereka paham akan bahayanya dan
mereka memilih hanya mengkonsumsi padi yang ditanam secara organik dalam skala
kecil.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kita
terjebak dan berputar-putar dalam situasi yang sama-sama merugi? Sebenarnya ada
satu faktor penting yang perlu kita cermati. Selama ini pemerintah melihat
persoalan pertanian—terutama padi—hanya berdasarkan pada produktivitas (hasil),
tanpa memperhatikan mata rantai budidaya pertanian termasuk kesejahteraan
petani dan kesehatan konsumen. Persoalan pertanian seringkali direduksi menjadi
ukuran-ukuran statistik yang secara operasional diukur dengan indikator ketersediaan
padi yang ada di gudang Bulog. Artinya, selama jumlah beras yang ada di gudang
Bulog masuk dalam kategori ’aman’, berarti situasi pangan secara keseluruhan
dinggap aman karena harga beras terkendali. Dalam situasi semacam itu, secara
umum kondisi pertanian dianggap tidak bermasalah (seperti terjadi ketika
Indonesia mencapai swasembada pangan pada masa Revolusi Hijau). Sebaliknya,
jika jumlah beras yang tersedia kurang dari indikator ’aman’, berarti keadaan
pangan berada dalam kondisi darurat, yang artinya kondisi pertanian secara umum
dianggap buruk (seperti saat ini). Logika seperti inilah yang sebenarnya
menjadi salah satu sumber permasalahan karena terlalu menyederhanakan
persoalan.
Logika di atas muncul karena beras
menjadi komoditas utama—yang berarti menyangkut hajat hidup orang
banyak—fluktuasi harga beras (yang mengikuti logika dasar ekonomi) yang terkait
dengan hukum permintaan dan ketersediaan), sering dijadikan kendaraan politik
harian. Artinya hal ini kemudian akan terkait dengan urusan ‘goyang-menggoyang’
kedudukan politik atau alat tawar-menawar politik. Naiknya harga beras biasanya
menjadi isu yang ampuh bagi berbagai pihak untuk mengkritik lawan politiknya.
Sebagai ilustrasi beberapa tahun terakhir kita sering menyaksikan bagaimana isu
naiknya harga beras menjadi begitu hangat dibicarakan. Dapat dipastikan, setiap
media akan mengulas persoalan ini. DPR lalu mengkritik pemerintah karena hal
ini. Biasanya perdebatan muncul seputar ketidakmampuan pemerintah untuk karena
kebijakan-kebijakannya dianggap tidak dapat menstabilkan harga beras.
Perdebatan kemudian dapat dipastikan akan berlanjut bermuara ke persoalan
‘Perlu tidaknya kita mengimpor beras? Dari Negara mana sebaiknya kita mengimpor
beras, Vietnam atau Thailand?’
Dengan kata lain persoalan kemudian
tereduksi menjadi hal-hal yang sangat teknis dan temporer seperti perlukah kita
mengimpor beras? Dari negara mana? Perusahaan mana yang akan ditunjuk sebagai
pengimpor? Benih dari negara mana yang produksinya tinggi? Perusahaan mana yang
diberi hak mengedarkan benih? dan sejumlah pertanyaan teknis lainnya. Karena
itu jawaban-jawabannyapun menjadi sangat simplistik, teknis dan temporer. Yang
penting harga beras tetap murah dan rakyat tidak ’rewel’. Dengan kata lain,
tidak ada upaya-upaya baru yang mendasar seperti melakukan reformasi agraria,
mereformasi Bulog dan menata ulang jalur distribusi, mendorong terwujudnya
kegiatan pertanian yang berkelanjutan tanpa banyak tergantung pada asupan dari
luar, melakukan pelatihan-pelatihan bagi petani, peningkatan kapasitas petugas
lapangan, atau upaya-upaya mendasar lain yang tidak hanya berorientasi pada
produktivitas tapi juga kesejahteraan, kemandirian, kualitas hasil produksi dan
peningkatan pengetahuan petani.
Kembali ke persoalan mendatangkan benih
padi hibrida dari China, sekaligus mengadopsi teknologi pembuatannya. Saya
melihat bahwa mendatangkan benih dari luar negeri bukanlah jawaban tepat untuk
melakukan revitalisasi pertanian. Kekhawatiran justru muncul jika kemudian
kebijakan ini direalisasikan. Mengapa demikian? Secara ekologis, benih hibrida
masih menjadi bahan perdebatan karena berdasarkan wawancara dengan seorang
peneliti Balitpa, benih hibrida hanya dapat berproduksi maksimal di iklim
subtropic dan harus ditunjang dengan sistem irigasi teknis yang baik.
Pembudidayaan benih hibrida dalam
skala besar juga berpotensi membawa dampak pada menurunnya keanekaragaman
hayati karena memancing pola tanam padi monokultur yang secara ekologis dapat
memunculkan ledakan hama. Dari segi budaya cocok tanam penggunaan benih hibrida
juga berpotensi menciptakan situasi ketergantungan petani terhadap benih jenis
ini yang harganya mencapai 9 hingga 10 kali lipat dibandingkan harga benih
non-hibrida. Belum lagi seringkali penggunaan benih jenis baru akan berimplikasi
pada ’keharusan’ menggunakan bahan-bahan penunjang seperti pupuk, pestisida
atau herbisida tertentu yang didistribusikan dalam bentuk paket.
Rasanya kita harus belajar dari
dampak negatif yang dimunculkan oleh pola pertanian ‘high inputs’ pada masa
revolusi hijau dan jangan malah terjebak untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Sekali lagi saya tidak berpikir skpetis terhadap penggunaan tekonologi dalam
pertanian, namun mengajak berbagai pihak untuk lebih arif menyikapi hal ini.
Karena bukankahn teknologi diciptakan untuk meningkatkan kualitas hidup umat
manusia, bukan sebaliknya.
Terakhir kalau boleh saya menyumbang
saran, Presiden atau Menteri Pertanian, mungkin sesekali perlu menyempatkan
pergi ke berbagai wilayah pertanian untuk tinggal bersama petani dan melihat
bagaimana kondisi pertanian yang lebih nyata. Cobalah sejenak melupakan
angka-angka statistik yang ada di Bulog melepaskan keterkungkungan pada
teori-teori pertanian modernis yang berkembang di kampus yang kadang jauh dari
realita yang ada di lapangan.
Tidak perlu pergi jauh-jauh ke China
untuk mencari bibit unggul dan belajar menciptakan benih yang bisa memroduksi
7-8 ton padi per hektar. Di Kabupaten Indramayu sudah banyak breeder
(farmer-breeder) terlatih yang sudah siap dengan benih-benih baru hasil
persilangan mereka (musim rendeng 2007 ada petani yang hasil panennya mencapai
10,2 ton padi dalam satu hektar dengan menggunakan benih hasil persilangannya
sendiri yang sudah mencapai turunan ke-9). Di sana juga banyak ahli-ahli
pestisida botani (pesbot), konservator benih lokal sebagai bahan baku gen,
pelaku pertanian organik sampai ke pengamat hama dan pengembang agens hayati
(pembudidaya musuh alami hama). Dari mereka saya yakin kita bisa belajar banyak
tentang bagaimana melakukan revitalisasi pertanian. Saya juga yakin dengan
sepenuh hati bahwa petani-petani yang kreatif, cerdas dan mandiri tidak hanya
ada di Indramayu, mereka tersebar di mana-mana; di pelosok Jawa hingga ke
Sumatera, Sulawesi, Flores dan di tempat-tempat lain di Nusantara. Persoalannya
sekarang bagaimana mereka diberi ruang dan kesempatan untuk mengembangkan dan
menyebarkan pengetahuan mereka dan tidak hanya diperlakukan sebagai alat
produksi yang terus dijejali dengan produk-produk dan teknologi pertanian dari
luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar