Sabtu, 13 April 2013

STUDY KASUS REVITALISASI PERTANIAN TIDAK PERLU KE NEGERI CINA


Berkaitan dengan pencanangan revitalisasi pertanian dan pemenuhan target peningkatan produksi dua (2) juta ton beras oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal tahun 2007. Salah satu wacana yang kuat diangkat adalah mengenai penggunaan benih padi hibrida, yang bagi beberapa kalangan dianggap sebagai salah satu solusi terbaik untuk memenuhi target peningkatan produksi. Tidak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Yusuf Kalla sendiri turun tangan langsung untuk memimpin delegasi Indonesia ke China yang terdiri dari Pengusaha, Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia, Menteri Perdagangan, dan Menteri Pertanian untuk menjajagi berbagai kemungkinan kerjasama untuk mendatangkan benih-benih hibrida dan juga alih teknologi dari negeri penghasil sekaligus pengonsumsi beras terbesar di dunia tersebut.
Bagi sebagian pihak, kunjungan itu diyakini sebagai sebuah langkah penting dan konkret dari pemerintah untuk terus mengupayakan perbaikan sektor pertanian di Indonesia, terutama pertanian padi dengan tujuan meningkatkan produktivitas, yang diharapkan akan berdampak pada kestabilan harga beras. Namun, sebetulnya kita juga harus melihat langkah pemerintah dengan kritis dan hati-hati. Sejarah sudah membuktikan bahwa persoalan pertanian—khususnya beras—di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kepentingan politik dan industri yang justru dalam jangka panjang dapat merugikan banyak pihak, baik petani maupun konsumen. Revolusi Hijau yang sangat berorientasi pada peningkatan hasil produksi justru mengakibatkan dampak negatif berkepanjangan dari segi ekonomi, lingkungan, hingga rusaknya tatanan budaya bercocok tanam padi bagi petani sawah. Sejarah juga mencatat bahwa sistem pertanian yang bersifat ‘high input’ justru telah menyebabkan rusaknya ekosistem, terjadinya ledakan hama, turunnya kualitas padi (yang ditandai dengan tingginya kandungan residu kimia dalam beras yang kita konsumsi) dan hilangnya berbagai pengetahuan bercocok tanam yang selama ratusan tahun terbukti ramah lingkungan, murah dan efektif.
Tulisan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk bersikap skeptis terhadap penggunaan teknologi dalam budidaya pertanian–termasuk penerapan teknologi biologi seperti penggunaan bibit hibrida—melainkan untuk memberikan gambaran dan mencoba melemparkan satu wacana bagi revitalisasi pertanian yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan hasil panen. Saya ingin mengajak berbagai pihak untuk turut memperhatikan faktor-faktor ‘lain’ yang terkait dengan mata rantai budi daya dan konsumsi tanaman padi seperti kesejahteraan petani, perbaikan kualitas padi, dan yang paling penting adalah penguatan peran petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian.
Terus terang saya terkejut dan prihatin ketika pertama kali membaca berita mengenai kunjungan Bapak Wakil Presiden Yusuf Kalla ke negeri China. Apa yang saya baca dalam berita tersebut menurut saya bertolak belakang dengan pengalaman saya selama melakukan riset, membuat film, dan melakukan program pengabdian masyarakat untuk Departemen Antropologi UI di Indramayu yang terangkum dalam proyek Bisa Dèwèk. Selama dua musim berkeliling di 13 kecamatan untuk melakukan penelitian, medokumentasikan, dan menjalankan workshop dan pemutaran film dokumenter tentang kemandirian petani bersama-sama dengan IPPHTI (Ikatan Peteni Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) Indramayu. Saya bertemu dengan beberapa orang petani di Indramayu yang memliki kreativitas, daya juang dan semangat yang tinggi. Tidak hanya dalam hal melakukan cocok tanam dan budidaya tanaman yang sudah menjadi bagian dari mata pencaharian mereka, tetapi juga dalam melakukan penelitian dan menggali pengetahuan-pengetahuan dari berbagai sumber untuk dapat menunjang aktivitas pertaniannya.
Dari beberapa kasus yang berhasil kami kumpulkan misalnya, kita dapat melihat bahwa dengan penuh ketekunan beberapa orang petani berhasil mengembangkan varietas padi hasil persilangan yang produktivitasnya bahkan lebih tinggi dari varietas padi berlabel yang didistribusikan olah perusahaan benih. Belum lagi beberapa orang petani yang dengan tekun dan teliti melakukan berbagai percobaan untuk dapat menghasilkan pestisida dari bahan-bahan alami seperti kecubung, bawang putih, dan berbagai tanaman lokal yang sudah sejak ratusan tahun lalu dipergunakan sebagai pengusir hama (kebanyakan pengetahuan semacam ini hilang setelah diperkenalkannya pestisida kimia).
Persolannya memang tidak semua petani mampu dan mau melakukan berbagai kegiatan percobaan dan mengupayakan kegiatan-kegiatan seperti pemuliaan tanaman atau pertanian organik. Hal itu akan terkait dengan persoalan-persoalan lain seperti kepemilikan lahan, dukungan kebijkan dan lain sebagainya. Walau sepintas persoalan pertanian nampak seperti benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya. Namun, sebetulnya ada banyak hal yang bisa kita lakukan asal pembuat kebijakan memiliki visi yang jelas dan berpihak untuk kepentingan orang banyak. Walau bagaimanapun, masalah pertanian terkait dengan kepentingan produsen dan konsumen produk pertanian—yang berarti adalah kita semua.
Dari segi kebijakan saya melihat bahwa pemerintah seharusnya tidak lagi memfokuskan usaha revitalisasi pertanian yang berorientasi semata-mata hanya pada hasil dan peningkatan produksi. Sudah waktunya kita melakukan usaha-usaha untuk memperkuat peranan petani sebagai pelaku utama. Artinya, bagaimana menciptakan petani-petani kreatif yang mampu mengupayakan usaha budidaya pertanian yang murah, memiliki produktivitas yang tinggi dan sekaligus produknya sehat untuk dikonsumsi. Dengan kata lain menciptakan situasi sama-sama menang ‘win-win solution’.
Mengapa ‘win-win solution?’ sebagaian dari pembaca surat kabar yang ada di kota mungkin tidak dapat membayangkan bagaimana petani melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan tanamannya agar tidak gagal panen—yang berarti bencana bagi ekonomi keluarga. Cobalah pergi ke salah satu sentra beras di Pantura. Anda akan menemukan bagaimana tanaman padi yang kita makan disemprot dengan berbagai macam bahan kimia hampir dalam setiap tahapan dalam masa pertumbuhan padi (mulai dari pestisida, herbisida, fungisida, dan lain sebagainya). Ditambah lagi berbagai asupan kimia lainnya seperti zat tumbuh tanaman, zat hijau daun, ‘padi booster’ dan lain-lain.
Belum lagi jika Anda pergi ke pabrik pengolahan beras. Di sana dapat dilihat proses pengolahan padi agar menjadi bersih, putih dan mengkilat—sesuai dengan selera dan kriteria akan beras yang baik bagi kebanyakan orang kota—yang lagi-lagi menggunakan berbagai asupan kimia yang berbahaya bagi tubuh kita. Bagi petani, proses budidaya pertanian yang sangat tergantung pada asupan dari luar tersebut mencerminkan proses produksi biaya tinggi yang tidak menguntungkan. Sedangkan bagi konsumen, situasi tersebut juga merugikan, karena produk pertanian yang dikonsumsi tidak sehat bagi tubuh. Saya menemukan beberapa kasus di mana petani justru tidak mau mengkonsumsi padi yang mereka tanam karena mereka paham akan bahayanya dan mereka memilih hanya mengkonsumsi padi yang ditanam secara organik dalam skala kecil.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kita terjebak dan berputar-putar dalam situasi yang sama-sama merugi? Sebenarnya ada satu faktor penting yang perlu kita cermati. Selama ini pemerintah melihat persoalan pertanian—terutama padi—hanya berdasarkan pada produktivitas (hasil), tanpa memperhatikan mata rantai budidaya pertanian termasuk kesejahteraan petani dan kesehatan konsumen. Persoalan pertanian seringkali direduksi menjadi ukuran-ukuran statistik yang secara operasional diukur dengan indikator ketersediaan padi yang ada di gudang Bulog. Artinya, selama jumlah beras yang ada di gudang Bulog masuk dalam kategori ’aman’, berarti situasi pangan secara keseluruhan dinggap aman karena harga beras terkendali. Dalam situasi semacam itu, secara umum kondisi pertanian dianggap tidak bermasalah (seperti terjadi ketika Indonesia mencapai swasembada pangan pada masa Revolusi Hijau). Sebaliknya, jika jumlah beras yang tersedia kurang dari indikator ’aman’, berarti keadaan pangan berada dalam kondisi darurat, yang artinya kondisi pertanian secara umum dianggap buruk (seperti saat ini). Logika seperti inilah yang sebenarnya menjadi salah satu sumber permasalahan karena terlalu menyederhanakan persoalan.
Logika di atas muncul karena beras menjadi komoditas utama—yang berarti menyangkut hajat hidup orang banyak—fluktuasi harga beras (yang mengikuti logika dasar ekonomi) yang terkait dengan hukum permintaan dan ketersediaan), sering dijadikan kendaraan politik harian. Artinya hal ini kemudian akan terkait dengan urusan ‘goyang-menggoyang’ kedudukan politik atau alat tawar-menawar politik. Naiknya harga beras biasanya menjadi isu yang ampuh bagi berbagai pihak untuk mengkritik lawan politiknya. Sebagai ilustrasi beberapa tahun terakhir kita sering menyaksikan bagaimana isu naiknya harga beras menjadi begitu hangat dibicarakan. Dapat dipastikan, setiap media akan mengulas persoalan ini. DPR lalu mengkritik pemerintah karena hal ini. Biasanya perdebatan muncul seputar ketidakmampuan pemerintah untuk karena kebijakan-kebijakannya dianggap tidak dapat menstabilkan harga beras. Perdebatan kemudian dapat dipastikan akan berlanjut bermuara ke persoalan ‘Perlu tidaknya kita mengimpor beras? Dari Negara mana sebaiknya kita mengimpor beras, Vietnam atau Thailand?’
Dengan kata lain persoalan kemudian tereduksi menjadi hal-hal yang sangat teknis dan temporer seperti perlukah kita mengimpor beras? Dari negara mana? Perusahaan mana yang akan ditunjuk sebagai pengimpor? Benih dari negara mana yang produksinya tinggi? Perusahaan mana yang diberi hak mengedarkan benih? dan sejumlah pertanyaan teknis lainnya. Karena itu jawaban-jawabannyapun menjadi sangat simplistik, teknis dan temporer. Yang penting harga beras tetap murah dan rakyat tidak ’rewel’. Dengan kata lain, tidak ada upaya-upaya baru yang mendasar seperti melakukan reformasi agraria, mereformasi Bulog dan menata ulang jalur distribusi, mendorong terwujudnya kegiatan pertanian yang berkelanjutan tanpa banyak tergantung pada asupan dari luar, melakukan pelatihan-pelatihan bagi petani, peningkatan kapasitas petugas lapangan, atau upaya-upaya mendasar lain yang tidak hanya berorientasi pada produktivitas tapi juga kesejahteraan, kemandirian, kualitas hasil produksi dan peningkatan pengetahuan petani.
Kembali ke persoalan mendatangkan benih padi hibrida dari China, sekaligus mengadopsi teknologi pembuatannya. Saya melihat bahwa mendatangkan benih dari luar negeri bukanlah jawaban tepat untuk melakukan revitalisasi pertanian. Kekhawatiran justru muncul jika kemudian kebijakan ini direalisasikan. Mengapa demikian? Secara ekologis, benih hibrida masih menjadi bahan perdebatan karena berdasarkan wawancara dengan seorang peneliti Balitpa, benih hibrida hanya dapat berproduksi maksimal di iklim subtropic dan harus ditunjang dengan sistem irigasi teknis yang baik.
Pembudidayaan benih hibrida dalam skala besar juga berpotensi membawa dampak pada menurunnya keanekaragaman hayati karena memancing pola tanam padi monokultur yang secara ekologis dapat memunculkan ledakan hama. Dari segi budaya cocok tanam penggunaan benih hibrida juga berpotensi menciptakan situasi ketergantungan petani terhadap benih jenis ini yang harganya mencapai 9 hingga 10 kali lipat dibandingkan harga benih non-hibrida. Belum lagi seringkali penggunaan benih jenis baru akan berimplikasi pada ’keharusan’ menggunakan bahan-bahan penunjang seperti pupuk, pestisida atau herbisida tertentu yang didistribusikan dalam bentuk paket.
Rasanya kita harus belajar dari dampak negatif yang dimunculkan oleh pola pertanian ‘high inputs’ pada masa revolusi hijau dan jangan malah terjebak untuk mengulangi kesalahan yang sama. Sekali lagi saya tidak berpikir skpetis terhadap penggunaan tekonologi dalam pertanian, namun mengajak berbagai pihak untuk lebih arif menyikapi hal ini. Karena bukankahn teknologi diciptakan untuk meningkatkan kualitas hidup umat manusia, bukan sebaliknya.
Terakhir kalau boleh saya menyumbang saran, Presiden atau Menteri Pertanian, mungkin sesekali perlu menyempatkan pergi ke berbagai wilayah pertanian untuk tinggal bersama petani dan melihat bagaimana kondisi pertanian yang lebih nyata. Cobalah sejenak melupakan angka-angka statistik yang ada di Bulog melepaskan keterkungkungan pada teori-teori pertanian modernis yang berkembang di kampus yang kadang jauh dari realita yang ada di lapangan.
Tidak perlu pergi jauh-jauh ke China untuk mencari bibit unggul dan belajar menciptakan benih yang bisa memroduksi 7-8 ton padi per hektar. Di Kabupaten Indramayu sudah banyak breeder (farmer-breeder) terlatih yang sudah siap dengan benih-benih baru hasil persilangan mereka (musim rendeng 2007 ada petani yang hasil panennya mencapai 10,2 ton padi dalam satu hektar dengan menggunakan benih hasil persilangannya sendiri yang sudah mencapai turunan ke-9). Di sana juga banyak ahli-ahli pestisida botani (pesbot), konservator benih lokal sebagai bahan baku gen, pelaku pertanian organik sampai ke pengamat hama dan pengembang agens hayati (pembudidaya musuh alami hama). Dari mereka saya yakin kita bisa belajar banyak tentang bagaimana melakukan revitalisasi pertanian. Saya juga yakin dengan sepenuh hati bahwa petani-petani yang kreatif, cerdas dan mandiri tidak hanya ada di Indramayu, mereka tersebar di mana-mana; di pelosok Jawa hingga ke Sumatera, Sulawesi, Flores dan di tempat-tempat lain di Nusantara. Persoalannya sekarang bagaimana mereka diberi ruang dan kesempatan untuk mengembangkan dan menyebarkan pengetahuan mereka dan tidak hanya diperlakukan sebagai alat produksi yang terus dijejali dengan produk-produk dan teknologi pertanian dari luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar