Sabtu, 13 April 2013

REVOLUSI HIJAU KEDUA



Kalau benar revolusi hijau kedua akan dapat mengatasi persoalan, tentu penerapannya harus lebih super hati-hati dan bijaksana. Jangan sampai justru semakin menambah keterpurukan petani masuk ke dalam jurang kemiskinan yang lebih akut. Pada tahun 2005 saja terdapat 38 juta atau 16% dari penduduk Indonesia yang miskin dan 68% dari 38 juta orang miskin ada pada sektor pertanian. Maka pada tahun 2006 ini masih dapat dikatakan secara umum bahwa orang miskin di Indonesia adalah petani.

A.   Bahaya Revolusi Kedua


Kemiskinan petani merupakan akibat dari serentetan peristiwa pada zaman Orde Baru dengan adanya program swasembada pangan melalui penerapan teknologi baru yang disebut Revolusi Hijau (RH). Swasembada pangan dimaksudkan agar petani mampu menyediakan keragaman jenis bahan makanan (diversifikasi pangan). Akan tetapi, dalam praktiknya swasembada pangan menjadi swasembada beras, dan keragaman menjadi keseragaman. Akibatnya seluruh kegiatan pertanian terkonsentrasi hanya pada peningkatan hasil padi saja. Peningkatan hasil padi dapat diraih dengan menanam jenis padi bibit unggul hasil teknologi RH. Salah satu jenisnya adalah IR (Institute Rice), yang merupakan hasil persilangan antara padi berumur pendek dan berperanakan banyak, sehingga jenis IR bisa menghasilkan padi berlipat ganda hanya dalam jangka waktu 3 bulan.
Kearifan alam dengan sistem palawija (Jawa: selang-seling) telah diganti sama sekali dengan menanam padi secara terus-menerus demi swasembada pangan (beras). Penanaman padi yang terus-menerus ini mengakibatkan timbulnya jenis hama padi yang tidak terputus rantai hidupnya. Kemudian terjadilah serangkaian peristiwa sedih yang menimpa petani seperti hama wereng coklat. Hama ini hanya bisa dimusnahkan dengan pestisida.
Dengan demikian untuk menanam padi jenis unggul petani akan mengeluarkan biaya berlipat ganda yaitu pembelian bibit, pupuk, dan pestisida, sekaligus membahayakan kesehatan. Petani harus membeli bibit karena padi jenis unggul tidak bisa ditangkarkan sendiri sebagaimana jenis lokal. Padahal ketika petani masih menerapkan sistem palawija, mereka bisa mengusahakan semuanya secara mandiri. Secara tidak sadar penerapan teknologi RH telah merusak kebanggaan petani pada tanah airnya sendiri serta menjadikan kehidupan petani tergantung pada pabrik dan pemilik modal. Semua kekayaan alam dirampas, sementara hasil panennya tidak diimbangi dengan penghargaan nilai jual yang layak. Akibatnya sangat ironis, petani menjual gabah untuk membeli beras. Inilah salah satu jawaban mengapa petani kita miskin dan sekaligus membuktikan penerapan RH Kedua di Indonesia pantas diragukan.
B.  Kembali ke Pertanian Organik
Kalau benar RH Kedua akan diterapkan di Indonesia, penerapannya harus berbeda dengan pengalaman RH Pertama. Penerapan RH Kedua perlu mempertimbangkan tuntutan penurunan penggunaan bahan-bahan kimia, tuntutan peningkatan kesehatan SDM, tuntutan kelestarian lingkungan hidup, serta berkembangnya pemikiran konservasi pangan, dan bukan semata-mata peningkatan hasil padi.
Mengingat bahwa kerusakan keseimbangan alam begitu memprihatinkan, maka penerapan RH Kedua harus dipadukan dengan sistem pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem pertanian tradisional tanpa pupuk kimia warisan nenek moyang kita yang sangat memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Dengan sistem ini sekaligus dapat menciptakan swasembada pangan (keanekaragaman, bukan keseragaman pangan), pemeliharaan unsur hara tanah, rantai makanan, serta tersedianya makanan sehat. Sistem pertanian ini akan sangat menguntungkan petani dalam berbagai hal, antara lain: 1). Petani mampu menyediakan berbagai jenis pangan, bukan hanya padi. 2). Terpeliharanya unsur hara tanah. 3). Petani mampu memproduksi sendiri jenis obat pemberantas serangga. 4). Petani mampu menyediakan makanan sehat, bebas kimia.
                Konsep sistem pertanian organik sudah sering dibahas pada berbagai pertemuan ilmiah, misalnya seminar, lokakarya, dan sarasehan, yang menggunakan tajuk pertanian organik (organic farming) atau pertanian ramah lingkungan. Secara teoritas banyak pakarbanyak pakartanian ataupun ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial. (Salikin, 2003)
                     Selain sistem pertanian organik dikenal pula sistem pertanian terpadu. Terdapat dua model sistem pertanian terpadu (integrated agriculture management), yaitu semua pertanian terpadu konversional dna sistem pertanian terpadu dengan teknologi EM (effective micro organisme). Sistem pertanian terpadu konvensional misalnya tumpang sari antara peternakan ayam dan balong ikan (longyam) dimana kotoran ayam yang terbuang dimanfaatkan sebagai pakan ikan, atau tumpang sari antara tanaman palawijaya dan peternakan, dimana sisa-sisa tanaman digunakan sebagai pakan ternak kambing atau sapi dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang bagi pertanaman berikutnya. Praktek-praktek pertanian terpadu konvesional ini belum tentu merupakan siklus yang berkelanjutan, karena hanya mengandalkan proses dekomposisi biomassa alamiah yang berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu, diperlukan sentuhan teknologi yang mampu mempercepat proses pembusukan dan penguraian bahan-bahan organik menjadi unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman atau hewan.  Konsep pertanian lainnya yang memperhatikan sistem pengelolaan lingkungan berkelanjutan ialah sistem pertanian masukan luar rendah.  Dalam hal ini pemanfaatan input luar dilakukan hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia. Dalam pemanfaatan input luar, perhatian utama diberikan pada mekanisme daur ulang dan minimilisasi kerusakan lingkungan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar