SUNGAI Citarum semakin "muram" bahkan "menangis" meratapi keadaannya yang semakin parah. Sungai terpanjang di Jawa Barat ini merupakan sumber air minum bagi DKI Jakarta, Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Tetapi, fungsi yang pernah disandang Citarum kini berubah. Hampir di semua lokasi di Bantaran Sungai Citarum ditetapkan dengan status air tercemar berat. Dari empat skala pencemaran (A,B,C, dan D), status pencemaran sudah mencapai angka paling berat alias "beracun". "Pada penelitian yang kita lakukan di tahun 2007, status mutu air Citarum berada pada indeks pencemaran D, yaitu tercemar berat," tutur Setiawan Wangsaatmaja, Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Jabar.
Hal tersebut tak dapat dimungkiri,
secara fisik pun dapat dilihat kondisi Citarum yang tercemar. "Dulunya
jernih, ini mah karena ada limbah dari pabrik-pabrik di Majalaya," tutur
Sam (25), penduduk Desa Mekarsari, Baleendah. Sungai yang mempunyai luas
seluruhnya 6.080 km2 dan panjang sungai 269 km ini mempunyai kualitas air
berkelas IV, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pertamanan atau pengairan.
"Kalau sudah sampai kelas IV, ya jangan diminum. Air pada kelas IV hanya
boleh dilakukan untuk pertamanan," ucap Setiawan. Dengan status tercemar
berat dan kualitas air yang sangat rendah, Citarum tak dapat lagi berfungsi
sebagai sumber mata air yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Dari segi kesehatan, cemaran logam berat dapat membahayakan kehidupan warga
yang tinggal di sekitarnya. Dalam pengujian yang dilakukan BPLHD Jabar sebanyak
tiga kali dalam setahun, ditemukan kandungan nitrit (NO2), timbal (Pb), klorin
(Cl), fosfat (PO4), seng (Zn), boron (B), tembaga (Cu), dan sulfat (SO4) yang
melebihi ambang batas. Keracunan nitrit dapat mengakibatkan methemoglobinema
atau penyakit baby blue yang rentan menyerang bayi berumur kurang dari empat
bulan. "Kalau kandungan logam berat, pasti berbahaya untuk makhluk hidup,
bisa berakibat sangat fatal," lanjut Setiawan. Selain itu, ditemukan juga
bakteri koli dalam jumlah besar. Keberadaan bakteri itu menunjukkan air telah
tercemar kotoran makhluk hidup. "Kandungan koli yang paling besar itu
dapat menyebabkan sakit perut," tutur Atih Witartih, Kepala Subdinas
Pengendalian Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bandung.
Tingkat kerusakan Sungai Citarum sudah
mencapai taraf sangat parah. Walaupun airnya masih berwarna cokelat, belum
hitam, tetap saja air sungai itu tidak dapat dimanfaatkan oleh warga.
"Kita ini jangan jadi bangsa yang kagetan, padahal setiap tahun mengalami
masalah yang sama. Jangan kaget kalau banjir lagi atau kekurangan air lagi, toh
setiap tahun pasti mengalami hal yang sama. Pencemaran air sungai itu akibat
ulah manusia, jadi jangan kaget kalau kebanjiran, kekeringan, dan terserang
wabah penyakit," tutur Otto Soemarwoto, pakar ekologi Indonesia. Keadaan
berbahaya itu pun tidak diindahkan warga walaupun peringatan selalu diberikan
oleh pihak yang berwenang. Kita selalu menyosialisasikan bahaya Citarum kepada
masyarakat," ucap Setiawan. Peringatan tersebut cenderung tidak digubris
oleh masyarakat. "Saya mah jaring ikan kaya gini udah dari kecil. Tidak
pernah ada keluhan, sudah biasalah," ucap Opik (30), di tengah kesibukannya
menjaring ikan. Tidak adanya keluhan dari warga membuat Dinas Kesehatan
beranggapan bahwa Citarum baik-baik saja. "Hingga sejauh ini belum pernah
ada laporan mengenai adanya gangguan kesehatan dengan taraf parah yang diderita
warga yang tinggal di sekitar Citarum," ungkap Budi Satrya, S.Km., staf di
bagian tempat-tempat umum dan industri Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat.
Citarum yang mempunyai potensi sebagai
sumber irigasi bagi 300.000 ha tanah pertanian mulai tercemar pada tahun 1986,
saat tumbuh banyak industri di sekitar bantaran Sungai Citarum. "Adanya
industri pasti ada turunannya, seperti adanya permukiman, apartemen, dan segala
macam itu pun semua sebenarnya ikut menyumbang limbah di Sungai Citarum,"
tutur Setiawan. Tak hanya itu, perubahan tata guna lahan, erosi, sedimentasi,
banjir, pemompaan pada air tanah yang berlebihan yang dilakukan oleh
pabrik-pabrik juga menjadi satu mata rantai permasalahan Sungai Citarum.
"Pabrik dalam hal ini sangat berperan dalam mencemari air sungai, bahan
kimia yang mereka pakai tidak pernah diketahui kadar idealnya seberapa banyak.
Kebanyakan dari mereka, memakai bahan kimia yang berlebihan," tutur Otto.
Dari penelitian yang dilakukan BPLHD,
logam berat yang di kandung oleh Citarum memang berasal dari pembuangan limbah
oleh pabrik-pabrik nakal, yang menidurkan IPAL (instalasi pengelolaan air
limbah) mereka dan memilih membuang limbah langsung ke Citarum. Bukan tanpa
alasan hal itu dilakukan oleh pabrik-pabrik. Pengolahan limbah mahal dan
memerlukan banyak biaya. "Kalau ada inspeksi, IPAL mereka hidupkan, kalau
tidak, ya dimatikan. Biasanya, malam-malam mereka buang, ketika secara visual,
orang tidak tahu," ucap Setiawan. Bagi pelaku-pelaku yang terbukti
melanggar hukum lingkungan ini tentu saja akan diperkarakan secara hukum.
"Untuk sampai sebuah pidana dalam hukum lingkungan, itu sudah luar biasa.
Karena itu kan perlu bukti-bukti, dan susah untuk mencari bukti-bukti
tersebut," ujar Setiawan. Sebelum sampai pada tahap diajukan ke
pengadilan, pabrik yang terbukti melanggar sebelumnya telah diberikan
pengawasan dan pembinaan.
Mekanisme pengajuan pelanggaran yang
dilakukan oleh pabrik nakal akan dilakukan apabila PPLH (Pegawai Pengawas
Lingkungan Hidup) yang mengawasi pabrik-pabrik tersebut menemukan bukti-bukti
yang cukup. Kemudian dari hasil temuan, PPLH meminta PPNS (Penyidik Pegawai
Negeri Sipil) atau pihak kepolisian melakukan penagkapan terhadap pihak yang
melakukan kejahatan lingkungan tersebut. TIdak semua pabrik melakukan hal
tersebut. Salah satu pabrik yang benar-benar menerapkan IPAL-nya adalah PT
Daliatex di Dayeuhkolot. Pabrik yang memproduksi kain jenis georgette ini telah
mengelola sendiri limbah cair hasil proses produksinya sejak 1999 yang
sebelumnya bergabung dengan IPAL terpadu di Cisirung. "Demi alasan
keefektifan, akhirnya kami memilih untuk mengelola sendiri," ungkap staf
keselamatan lingkungan PT Daliatex, Rahmat.
Jumlah industri di wilayah Kab.
Bandung yang berpotensi mengeluarkan limbah 144 pabrik yang semuanya telah
memiliki IPAL. Pabrik tersebut kebanyakan pabrik tekstil. Dari jumlah tersebut
27 pabrik di antaranya berada di Dayeuhkolot yang pengolahan limbahnya
dilakukan IPAL Raksasa Cisirung. Sedangkan jumlah pabrik di wilayah Bandung
Barat yang berpotensi mengeluarkan limbah 47 pabrik. Untuk mengantisipasi agar
Sungai Citarum tidak tercemar berat, pemerintah mewajibkan kepada pemilik
pabrik untuk mengirimkan laporannya pada waktu tertentu tentang kadar airnya
setelah diproses. "Laporan ini sifatnya wajib bagi pemilik pabrik yang
harus dilaporkan 1 bulan sekali," kata Indra Martono, Plt. Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung.
Limbah yang mencemari sungai tersebut
terdiri atas limbah industri dan limbah domestik seperti sampah. Dari hasil
pemantauan di lapangan, justru yang terbesar adalah sampah yang memadati sungai
tersebut. Volume sampah yang mencemari anak sungai tersebut sekitar 70%,
kemudian industri 16%, pertanian 2 % dan sisanya adalah peternakan. Karena
kondisinya seperti itu, pemerintah pun memprioritaskan bagaimana menanggulangi
agar volume sampah bisa ditekan. Sampah yang berupa fisik ini cukup berbahaya
bagi keberadaan Sungai Citarum. Jika dibiarkan tentu lingkungan di sepanjang
Sungai Citarum akan rusak yang akan berdampak kepada kehidupan penduduk. Jenis
sampah yang dibuang masyarakat yaitu sampah organik seperti daun, kertas atau
benda lain yang bisa cepat terurai. Namun, sampah nonorganik seperti plastik
pun cukup mendominasi. Sampah nonorganik inilah yang bisa merusak lingkungan
sungai karena sifatnya tidak cepat terurai seperti plastik pembungkus dan botol
minuman.
Banjir yang sering terjadi di beberapa
wilayah Kabupaten Bandung, selain karena sedimentasi juga karena sampah
nonorganik ini. Sampah itu menumpuk menjadikan aliran sungai menjadi terhambat.
Sistem sanitasi yang buruk menjadi masalah lain yang ikut mendorong limbah
citarum. Hal itu dilakukan tak hanya oleh penduduk sekitar Citarum tapi juga
penduduk Kota Bandung, umumnya. Dalam pembangunan rumah seharusnya mempunyai
IMB (izin mendirikan bangunan), yang salah syaratnya harus mempunyai septic
tank (tempat pembuangan). Tapi pada kenyataannya tidak semua penduduk punya
itu. "Sampai kapan pun kita juga susah untuk menyelesaikan masalah
ini," kata Setiawan. Tata ruang yang tidak jelas juga ikut memperburuk
kondisi Citarum. Dulunya daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan sekarang
sudah menjadi daerah bangunan. BPLHD mencatat penutupan lahan sebagai lahan
permukiman dari tahun 1983 sampai tahun 2002, untuk daerah permukiman naik
mencapai 233%, industri naik 868%, sedangkan lahan pertanian menurun 55%.
"Jika ingin menyelesaikan masalah Citarum, tidak Citarumnya saja, tetapi
juga daerah tangkapan air sekitar Citarum. Hal itu juga memengaruhi,"
ungkap Setiawan.
Tak hanya berbahaya untuk lingkungan sekitar dan
masyarakat, pencemaran air Citarum juga memicu percepatan sedimentasi waduk.
Meningkatnya sedimentasi secara kontinyu dan buruknya mutu air akibat berbagai
polutan yang meracuni Citarum. Hal tersebut dapat mengancam kinerja PLTA
Saguling yang menjadi andalan pasokan listrik interkoneksi Jawa-Bali. PLTA yang
semula dirancang untuk hidup dan menyuplai persediaan energi listrik selama 59
tahun itu hanya akan mampu bertahan selama 45 tahun. Dengan kata lain sisa
hidupnya tinggal 23 tahun saja. Bahkan, jika kondisi terus memburuk, waktu
Saguling untuk tutup usia semakin dekat dan mendekatkan Jawa-Madura-Bali pada
krisis energi listrik. Saat ini, laju sedimentasi yang mencapai angka 4,2 juta
meter kubik per tahun telah melewati ambang batas yang ditetapkan dalam desain
PLTA Saguling, yaitu kurang dari 4 juta meter kubik per tahun. "Jadi
pendangkalannya lebih cepat dari desain. Sedimentasi 2007 bisa jadi mencapai 84
atau 85 juta meter kubik," kata Djoni Santoso, Manajer Lingkungan PT
Indonesia Power PLTA Saguling. Bagaimanapun juga Citarum sudah mengalami
kondisi yang kritis. Dibutuhkan integritas dan komitmen dari berbagai pihak
yang ikut bertanggung jawab dalam menyembuhkan Citarum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar