Kamis, 11 April 2013

HTI DAN KESEIMBANGAN AIR




Pembangunan HTI dapat menjaga keseimbangan air jika pembangunan HTI dilaksanakan secara bijaksana dengan memperhatikan : 1. Jenis pohon yang ditanam disesuaikan antara tingkat transpirasi jenis tersebut dengan jumlah curah hujan areal penanaman. Misalnya jika jenis yang ditanam mempunyai evapotranpirasi sebesar 3000 mm/th, maka jenis tersebut hanya dapat ditanam pada daerah dengan curah hujan > 3000 mm/th, karena jika ditanam pada daerah dengan curah hujan < 3000 mm/th maka daerah tersebut akan mengalami defisit air. 2. Penanaman HTI sebaiknya menciptakan strata tajuk, paling tidak ada dua strata, yaitu strata kanopi pohon dan strata tumbuhan penutup tanah. Dengan kombinasi bentuk daun yang runcing dan sempit serta dengan adanya strata tajuk tersebut dapat memperkecil massa dan kecepatan butir air hujan yang jatuh ke lantai hutan. Jika lantai hutan penuh dengan tumbuhan penutup tanah, serasah dan humus maka pembangunan HTI tersebut dapat mengurangi aliran permukaan (air larian) dan dapat meningkatkan infiltrasi air (suplesi air). Dengan berkurangnya air larian dan meningkatnya suplesi air maka pembangunan HTI dapat mengurangi bahaya banjir dan erosi serta meningkatkan air simpanan (air tanah). Pada lahan kritis atau tanah kosong (tidak bervegetasi) air menguap dari permukaan tanah dan diganti oleh air dari bawahnya, laju penguapan lebih tinggi dari pada laju naiknya air, sehingga tanah cepat kering dan laju penguapan menurun. Tanah kosong yang ditutupi serasah, laju penguapannya lebih kecil karena serasah menghalangi penguapan air. Namun pada tanah berhutan, lengas tanah diserap oleh perakaran dibawa ke daun, karena permukaan daun yang luas dan perakaran yang ekstensif sehingga laju penyerapan dan penguapan air lebih besar dibandingkan dengan tanah kosong dan tanah kosong yang ditutupi serasah. Hutan juga menahan air hujan yang jatuh, air hujan yang jatuh tertahan oleh tajuk (intersepsi), air intersepsi menguap kembali ke udara. Sebagian hujan mengalir melalui batang (aliran batang) dan selanjutnya mengalir ke tanah. Aliran batang dan air lolosan akhirnya sampai lantai hutan sebagai curahan atau presipitasi. Air di lantai hutan diserap serasah dan humus (intersepsi serasah), Setelah serasah jenuh dengan air, sebagian air akan mengalir di atas permukaan sebagai air larian. Sebagian air meresap ke tanah mengisi lengas tanah menjadi air simpanan, pengisian air simpanan disebut suplesi.
Air simpanan adalah sumber untuk aliran air dalam jangka panjang, sebagain keluar melalui mata air dan menambah aliran air. Hutan dapat pula mengurangi air simpanan melalui evapotranspirasi, sehingga hutan mempunyai dua pengaruh yang berlawanan terhadap besarnya aliran dasar. Hutan dapat meningkatkan suplesi air, hutan mengurangi air simpanan karena evapotranspirasi, hal ini sangat terasa pada musim kemarau Jika hutan produksi alam dikonversi menjadi HTI, maka pengaruh konversi hutan terhadap aliran air ditentukan oleh perbandingan besarnya evapotranspirasi dan suplesi air simpanan. Jika evapotranspirasi dan suplesi air simpanan lebih kecil pada penggunaan baru maka aliran air akan naik. Pada konversi hutan alam menjadi HTI pengaruh yang nyata adalah perubahan dalam besarnya laju evapotranspirasi sedangkan laju suplesi air simpanan tidak berubah.
Pada reboisasi dan penghijauan lahan kritis menjadi HTI yang berhasil, laju evapotranspirasi dan suplesi air simpanan akan meningkat. Reboisasi dan penghijauan yang berhasil menaikkan peresapan air, sehingga air simpanan naik untuk memasok mata air dan sumur, walaupun sebenarnya aliran air total berkurang karena naiknya laju intersepsi dan evapotranspirasi. Jika pembangunan HTI dengan jenis yang mempunyai evapotranspirasi yang tidak cocok tidak meningkatkan air simpanan karena air simpanan habis terpakai oleh evapotranspirasi. Transpirasi selain tergantung jenis tumbuhan juga tergantung pada tingkat kesuburan tanah, semakin subur laju transpirasi semakin tinggi. Dalam suatu DAS, indikasi DAS yang rusak jika aliran maksimum (Qmaks) besar dan aliran minimum (Qmin) kecil, sehingga nisbah Qmaks/Qmin besar. Sebagai contoh Soemarwoto (1991) melaporkan DAS Citanduy mempunyai nisbah Qmaks/Qmin dari 813:1 tahun 1968 menjadi 27:1 tahun 1983, jadi reboisasi berhasil, tetapi aliran air tahunan turun drastis dari 9.300 juta m3 tahun 1968 menjadi 3.500 m3 tahun 1983. DAS Citarum tahun 1919-1923 rata-rata 47 % CH menjadi aliran air dan pada 1970-1975meningkat menjadi 52 %, aliran air naik karena luas hutan menurun sekitar 33 % tahun 1960. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar